cerpen renungan


Wanita kedua
Wanita berumah disisi minimarket itu, benar- benar membuat sekujur tubuhku tegang. Tutur katanya yang lembut, membuat aku jatuh…sungguh aku tak mengira akan jatuh cinta seperti anak SMA lagi.
Aku berjumpa dengan wanita itu, ketika aku menghindari tabrakandengan bis budiman. Motor yang ku kendarai dengan membonceng rezkia, anak perempuanku itu terjerembab di got depan rumahnya. Tangis anakku yang meraung-raung membuat wanita itu dating menawarkan bantuan. Lerida nama wanita itu. Dia menggandeng rezkia kerumahnya dengan penuh kasih saying layaknya seorang ibu.
Aroma parfum Lerida tercium tak sengaja olehku, ketika ia memberikan secangkir air kopi. Sejak pertemuan itu, perasaanku menjadi tak tenang. Aku mulai membanding-bandingkan keadaan perempuan itu dengan larisha isteriku. Seandainya isteriku bias serapih Lerida, pastilah aku semakin betah dirumah. Seandainya perut isteriku serata Lerida, pastilah aku tak harus mencari fhoto-fhoto wanita setengah telanjang di tabloid hanya untuk meningkatkan gairahku di kasur. Tetapi, semua membuatku frustasi. Begitu membuka mata, yang ku lihat hanyalah tubuh larisha yang mulai berlemak disana-sini.
Otakku mulai berputar-putar tak karuan, bagaimana cara agar ku dapat mengunjungi Lerida tanpa ada yang curiga. Sungguh ! dua hari tak bertemu Lerida membuatku seperti orang gila. Mulailah ku atur rencana untuk dapat menemuinya.
Kucukur bersih bulu-bulu yang ada diwajahku, ku semprotkan parfum ditubuhku, ah aku masih ganteng juga. Ku tatap wajahku dicermin, tak kalah lah dengan dicky arjasa pikirku. Melihat penampilanku, isteriku bertanya-tanya ujarnya aku seperti orang yang sedang puber kedua. Aku bilang saja, semuanya kulakukan karena ku harus fhoto untuk kartu identitas di kantorku besok pagi, isteriku pun tampak faham. Aku tidak bohong, memang besok paginya ada acara fhoto-fhoto untuk melengkapi kartu identitas di kantorku besok pagi. Hanya saja sepulang dari kantor, aku mengajak rezkia untuk mengunjungi Lerida.
Lerida dan kedua anak kembarnya, luna dan lina menyambut kami dengan gembira. Rezkia langsung bermain sepeda dengan mereka. Akupun duduk berdua dengan Lerida diruang tamu. Dari percakapan sore itu, aku tahu kalau Lerida adalah seorang janda dan mengajar bahasa inggris disalah satu lembaga bahasa. Satu ide melintas, saat itu aku meminta Lerida untuk memberikan kursus bahasa inggris untuk rezkia, karena rezkia berumur 4tahun. Sudah saatnya belajar bahasa inggris, Lerida setujuuntuk memberikan kursus kepada rezkia setiap hari senin dan rabu. Ketika pulang rumah, dan ku rundingkan dengan larisha mengenai kursus itu ia tak keberatan sedikitpun.
Sejak itu, setiap hari senin dan rabu merupakan hari yang sangat ku tunggu-tunggu. kursus hanya berlangsung satu jam saja, tetapi rezkia selalu meminta untuk tinggal dirumah kerida agak lama. Karena dia ingin bermain bersama luna dan lina. Jadilah aku punya alas an untuk ngobrol panjang lebar dengan Lerida.
Berbicara dengan Lerida, aku serasa menemui masa mudaku lagi. Ternyata Lerida suka puisi, lantaran bicara puisi-puisi Gibran kami menjadi semakin akrab dan terbuka.lerida juga bercerita tentang seorang duda, yang menjadi direktur lembaga bahasa tempat ia bekerja itu, beberapa kali memintanya untuk menjadi isterinya. Bagi Lerida, penampilan duda itu tak menarik. Ia lebih suka pria yang suka menghadiahinya puisi, seperti almarhum suaminya.
Tahu akan hal itu, akupun getol menghadiahinya puisi untuk Lerida setiap pagi, puisi itu aku serahkan sebelum aku pergi ke kantor. Sepulangkerja, akupun sering mampir kerumahnya hanya untuk mencekoki Lerida dengan kata-kata yang menghiba-hiba tentang penderitaanku sejak menikahi larisha.
“jangankan merawat anak dan suaminya, merawat diripun dia tak mampu. Daster kumalnya menjadi pemandanganku sehari-hari.makanan hambar alakadarnya menjadi menuku sehari-hari.tempat tidur bau ompol anak menjadi alas tidurku sepanjang malam. Dengkuran isteriku menjadi music pengantar tidurku. Secangkir teh atau kopi sepulang kerja hanyalah impian, aku sangat menderita !”
Lerida memandangku dengan muka murung, sepertinya aku sudah berhasil menarik simpatinya dengan rahasia-rahasia rumah tanggaku.
“seandainya isteriku adalah kamu, Lerida…”
Pipi Lerida merona, matanya berkejapan. Aku merasa terbang ke langit ketujuh. Seperti berdendang, kata- kata itu terus ku ulang-ulang.
Lama kelamaan aku punya keyakinan, kalau Lerida juga menaruh perhatian lebih kepadaku. Oleh karenanaya, dengan mengumpulkan segala keberanian aku menyatakan cinta diberanda rumahnya. Lerida tersentak, tetepi aku melihat kebahagiaan yang menggejolak.
Dia berkata “mas, kan sudah punya isteri…”
“tapi kau kan tahu, kalau aku menderita?”
“selesaikan baik-baik hunbungan mas dengan isteri mas. kalau memang mas tak bahagia mas Harus menceraikannya secara baik-baik atau meminta izin kepadanya untuk menikahiku.”
Aku bersorak gembira, masalah dengan isteriku? Gampanglah diatur. Dengan hati berbunga-bunga aku pulang kerumah. Begitu malam tiba, ku tidurkan rezkia sebelum jamnya. Setelah itu, aku mulai mencumbui larisha seperti layaknya seorang pengantin baru. Usai bercinta, ku buatkan isteriku mie goring sepiring berdua. Kami makan bersama, selama 2 minggu kami tampak mesra, larisha menatap tampak curiga, namun ia bahagia.
Pada minggu ketiga, mulailah aku bercerita tentang banyaknya orang-orang yang perlu di santuni.anak yatim dan janda yang terllunta-lunta. Larisha yang mudah tersentruh sangat terharu, tetapi menjadi pilu ketika aku mulai mengemukakan pintu syurga bagi isteri yang merelakan suaminya menikahi janda miskin. Dari tatapan matanya, aku tau hatinya teriris. Tapi tekadku tak terkikis, ku peluk dia dan ku bisikkan betapa aku mencintainya dan berjanji semuanya takan berubah, isteriku menatapku, dam dia bilang dia ingin bertemu Lerida janda yang ku maksudkan. Akupun setuju, ku cium keningnya, ku usap rambutnya sampai dengkurnya terdengar. Malam itu, dia terlelap di pelukanku.
Ahirnya, dirumahku 2 wanita itu  bertemu. Dari jendela aku bisa melihat kalau isteriku tampak tegang dan Lerida tampak salah tingkah. Namun, beberapa saat kemudian mereka bersalaman mulai bicara dan ahirnya tertawa-tawa, sejak itu keduanya memang tampak akrab. Aku lega, hajatku ada di depan mata!
Pagi ini, ketika aku hendak meyelipkan satu puisi dirumah Lerida, aku mendapati rumah lerida lengang, tanpa keributan anak-anak Lerida karena hendak bersiap-siap berangkat ke sekolah tak kudengar. Ku ketuk rumahnya berkali-kali, tak ada yang menjawab, aku semakin keras mengetuk pintunya. Sepi!
Kugedor dan kugedor lagi pintunya, kali ini bu risna tetangga sebelahnya muncul dan mengabarkan bahwa Lerida, pulang kampong bersama anak-anaknya untuk mempersiapkan pernikahannya dengan direkturnya! Lerida wanita ranum yang hendak kujadikan isteri keduaku, hendak menikah tanpa memberitahukan ku sama sekali.
Kurasakan perasaan tersinggung mulai menggeledak di dadaku! Dalam keadaan limbung aku teringat isteriku. Wanita setia yang slalu menerimaku apa adanya, boleh jadi tubuhnya menjadi tak terawat karena waktunya habis untuk mengurus rumah tangga dan uang belanja yang kuberikan dihabiskannya untuk urursan rumah tangga daripada untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba aku ingin memeluk isteriku, dan meneriakkan betapa tak ada wanita lain  yang lebih aku butuhkan didalam hidupku delain dirinya.
Sepeda motorpun ku kebut dengan kecepatan tak kira- kira. Sampai dirumah, kembali aku terpana. Kudapati rumahku tak brpenghuni, ku periksa pot tanaman, tempat larisha biasa menyimpan kunci kalau ia harus pergi. Disitu kutemui kunci rumahku dan sepucuk surat.

Mas andri,
Merangkai kata, aku memang tak pandai tetapi semoga yang akan kusampaikan ini bisa kau mengerti.
Beberapa bulan yang lalu, ada seorang pria yang perhatianya membuatku berbunga-bunga. Tetapi aku sadar, bahwa cinta itu seperti tanaman. Dia bisa mati, kalau kita tak merawatnya. Nah, cinta yang kita bina sudah layu ! hamper mati ! kalau aku mencoba merawat tanaman lain, bagaimana mungkin aku bisa yakin kalau dua-duanya tak mati? Sedang merawat satu saja aku tak bisa.
Oleh karenanya, aku memutuskan untuk merawat cinta kita dan mematikan cinta yang lain. Bagiku keluarga adalah segalanya. Tetapi takdir bicara lain. Mas memilih hendak membawa tanaman lain dengan cara menikah lagi. Bagiku, dua orang isteri terlalu banyak dalam satu pernikahan dan sul;it bagiku untuk brbagi perasaan. Daripada  aku tertekan, akhirnya kuputuskan untuk melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama. Dengan demikian, kita bisa berbahagia dengan merawat satu cinta di keluarga masing-masing. Mas menikah dengan Lerida, akupun akan bahagia karena mas reval tetangga kita yang pernah memberikan perhatian lebih Kepadaku itu, berjanji akan menikahiku begitu selesai masa idahku.
Salam larisha,

Aku merasa tubuhku dipukul-pukul dengan martil hingga lenyap terkubur rencana-rencanaku sendiri! Kupandangi rumah reval, tiba- tiba aku ingin membunuh perjaka tua itu.!



The end….



Created by
Intan rizqia bilqis

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS