munakahat


A. MUNAKAHAT
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
A.      Islam Menganjurkan Nikah
B.  Islam Tidak Menyukai Membujang
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN
1.       Pacaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.
 2. Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)
2.       Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).
3.       Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).
4.       Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”. ‘Aqil menjelaskan : “Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah :
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”
5.       Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
6.       Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum : 21). Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).
“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74).

B. HUKUM WARIS
Hukum Waris Wanita Menurut Islam dan Kristen
Menurut agama Islam, anak lelaki mewarisi dua kali lipat di banding anak perempuan, yang di maksud adalah: Satu orang anak lelaki mendapat dua kali lebih banyak di banding apa yan anak perempuan dapat. Memprihatinkan bahwa agama Islam adalah agama yang paling salah dimengerti di dunia, dan undang-undang warisan di agama Islam ini adalah hanya contoh kecil dari banyak kasus yang perlu dijernihkan. Oleh sebab itu orang akan menyadari kebijaksanaan dan keadilan nyata dalam agama Islam dan mulai menghargainya dan menghormatinya.
Saudara/i ku umat Muslim yang dirahmati Allah, atau rekan-rekan Kristiani, menurut agama Islam, adalah tanggung jawab seorang pria untuk menyediakan kebutuhan finansial kepada istri, anak, orang-tua (kalau mereka masih ada), dan saudara perempuan saya (jika mereka menjadi janda).
Dan jika saya menolak untuk menyokong saudari perempuan saya yang janda, kemudia jika dia memutuskan membawa saya ke pengadilan dan menuntut saya, dan membuktikan bahwa saya mempunyai cukup uang untuk menopang kebutuhan financial istri saya, anak dan saudari perempuan saya yang janda, maka pengadilan akan memaksa saya untuk menyantuni hidupnya selama satu bulan dibayar. Undang-undang ini di agama Islam dianggap undang-undang “Nafaqa”.
Isteri di dalam agama Islam tidak di wajibkan untuk membiayai keluarganya walau hanya sesenpun, dan si suami pun tidak berhak meminta darinya sesenpun untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Sebenarnya, ini hanya untuk menunjukkan kepada kalian betapa hormat dan adilnya Islam terhadap kaum wanita ialah seorang isteri berhak meminta kepada suaminya untuk membiayai pangan, sandang dan papan bagi keluarganya.
Selanjutnya, menurut syariah Islam, suami tidak mempunyai hak untuk memaksa istrinya bekerja jika si istri tidak berkenan. Namun itu tanggung jawab pokok laki-laki untuk menyokong keluarganya secara finansial, dan bukan tanggung jawab wanita. Juga, di agama Islam, istri mempunyai seluruh hak untuk meminta suaminya membayari pendidikannya jika dia menginginkan untuk pergi belajar.
Wanita di agama Islam mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan, dan adalah tanggung jawab orang-tua mereka (jika wanita tersebut belum menikah), atau tanggung jawab suami mereka untuk membayari pendidikan mereka.
Hukum Waris menurut Alkitab:
Mari kita melihat 8 Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada anaknya yang perempuan.” (Bilangan 27:8)
Oleh sebab itu di kata lain, wanita (anak perempuan, saudara perempuan dan ibu) tidak mewarisi apa saja jika seorang laki-laki (anak lelaki) hadir. Yang berikut ini email yang dikirim kepada saya oleh saudara Yishan Jufu:
Hukum Waris Bagi Wanita
Salah satu perbedaan yang paling penting di antara Quran dan Alkitab adalah sikap mereka ke pada masalah warisan kaum wanita yang ditinggal oleh ayahnya.Menurut Bilangan 27:1-11, janda dan saudara perempuan tidak mewarisi apapun.
Anak perempuan bisa mewarisi hanya jika bapak almarhum mereka tidak mempunyai anak lelaki.Lain dengan anak lelaki, mereka menerima warisan seluruhnya. Di antara orang Arab penyembah berhala pra Islam, hak-hak warisan dibatasi secara eksklusif kepada keluarga pria. Al Quran menghapuskan semua adat-istiadat yang tak adil ini dan memberikan kepada kaum wanita bagian mereka (4:7,11,12,176).
Cukup nyata bahwa agama Islam jauh menghormati wanita pada kasus warisan dari pada Alkitab. Alkitab bahkan sama sekali tidak mengakui keberadaan wanita apabila seorang anak lelaki ada (hadir). Anak lelaki mendapat seluruh warisan menurut Alkitab.
Di agama Islam, dengan kata lain, anak perempuan mendapat setengah bagian dari yan anak lelaki dapat, karena di bawah undang-undang “Nafaqa“, anak lelaki bertanggung jawab terhadap (1) Istri dan Anaknya; (2) Orang-tua Tuanya; (3) Saudari Perempuannya yang menjanda.
Dan lagi dalam agama Islam, istri tidak mesti menyediakan bantuan keuangan apa pun kepada keluarganya. Karena hal tersebut adalah kewajiban laki-laki. Oleh sebab itu, sangat adil bagi laki-laki mendapat bagian sepadan dengan dua orang wanita dalam hukum waris di agama Islam.
Apakah anda tidak akan setuju dengan saya bahwa jika tanggung jawab laki-laki menyokong orang-tuanya (kalau mereka jadi tua), istri, anak, dan saudara perempuan janda, Oleh karenanya hal tersebut masuk akal jika bagian anak lelaki lebih besar daripada anak perempuan.

C. Hukum Islam dalam Perspektif Konstitusi

Eksistensi Islam dan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia
Membahas mengenai kehidupan beragama dalam perspektif konstitusi dapat dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib untuk memeluk dan menjalankan agama, termasuk Agama Islam. Hal ini menjadi suatu konsekuensi bagi pemeluk agama yang bersangkutan wajib menjalankan syariat agama. Apabila seseorang beragama Islam atau menyatakan diri beragama Islam, maka dia harus tunduk pada aturan Islam,[17] bukan justru dia hanya mengaku beragama Islam tanpa melaksanakan kewajibannya sebagai umat Islam dengan sungguh-sungguh.[18] Pengertian hak beragama hanya mengenai hak untuk menjalankan salah satu agama yang berlaku di Indonesia. Sehingga dalam tataran implementasi mengenai kehidupan beragama perlu adanya aktualisasi mengenai nilai-nilai kebebasan yang ada[19] untuk memberikan pencerahan makna yang terkandung di dalam UUD 1945.
Penekanan kewajiban untuk menjalankan agama yang diyakini (dalam hal ini adalah Islam) dbuktikan dengan menjalankan Rukun Islam dan Rukun Iman. Sehingga apabila prinsip beragama dalam perspektif konstitusi diartikan secara seimbang antara hak dan kewajiban,[20] maka akan mudah bisa mewujudkan ketertiban hukum, kehidupan yang saling toleransi, dan ketentraman.
Selanjutnya mengenai Islam dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional UUD 1945 memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk Agama Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam. Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al Ihlas pada ayat (1) yaitu قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ” ” yang berarti “katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Lebih lanjut pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.[21] Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yan tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan sifat bangsa kita yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.[22]
Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.
Prinsip-prinsip Hukum Islam yang dijadikan landasan ideal fiqih sebagimana dikatakan oleh Juhaya S. Pradja yaitu:[23]
  1. Prinsip tauhidullah,
  2. Prinsip insaniyah,
  3. Prinsip tasamuh,
  4. Prinsip ta’awun,
  5. Prinsip silaturahim bain annas,
  6. Prinsip keadilan, dan
  7. Prinsip kemaslahatan.
Selanjutnya menurut Muhammad Thahir Azhary, Agama Islam dalam sistem hukum nasional terdapat berbagai relevansi hukum, baik dalam bentuk konsep maupun praktik hukum yang ada, yaitu sebagai berikut:
  1. prinsip permusyawaratan, di dalam Alquran terdapat dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar nomokrasi (negar hukum) yang mempunyai relevansi dengan hukum di Indonesia, yaitu terdapat pada Q.S. Al Syura ayat (38),وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ . ayat ini menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum, Nabi selaku mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Selanjutnya dijelaskan pula dalam Q.S. Ali Imran ayat (159), yaitu; “وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ” yang berarti “dan bermusyawarahlah engkau dalam setiap setiap urusan”. Ketentuan dalan surat tersebut mempunyai relevansi dengan sila keempat pada  Pancasila yang menyangkut mengenai permusyawaratan.
  2. prinsip keadilan, prinsip keadilan merupakan prinsip ketiga dalam hukum Islam. Perkataan adil (al ‘adl, al qisth, dan al mizan) menempati urutan ketiga yang paling banyak disebut di dalam Alquran setelah kata “Allah” dan “ilmu pengetahuan”. Sehingga disimpulkan bahwas Islam mengajarkan manusia di duia untuk selalu berbuat adil[24] dengan mengedepankan integritas yang tinggi. Lebih lanjut isebutkan dalam Q.S. Annisa’ ayat (135) berbunyi “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ” yang berarti “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan kerabatmu”.[25] Secara konstitusional konsep dan prinsip keadilan dapat ditemukan pada sila ke lima pada Pancasila, yang menjadi landasan dasar dari tujuan dan cita-cita-cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai landasan filosofis negara (filosofische grondslag).
  3. Prinsip persamaan atau kesetaraan[26] dan hak asasi manusia, prinsip persamaan dalam hukum Islam mencakup persamaan dalam segala bidang termasuk di bidang politik, hukum dan sosial. Perdamaan di bidang hukum memberikan jaminan akan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama[27] terhadap semua orang tanpa memandang kedudukan asalnya (original position). Prinsip persamaan, termasuk prinsip kebabasan yang sama tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and fredoms of citizens). Berkaitan dengan hak kesetaraan hukum antara pria dan wanita (gender) dapat ditemukan pada Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1) UUD 1945 Pasca amandemen.[28] Dalam Q.S. Al Baqarah ayat (228) disebutkan “وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَ‌ٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا . وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ” yaitu para perempuan mempunyai hak yang setara dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.
  4. Prisip peradilan yang bebas, yaitu peradilan yang berguna memberikan keadilan bagi para pencari keadilan (justiciabelen)[29]. Justice Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus kebebasan dari segala macam bentuk pressure (tekanan) dan campur tangan kekuasaan eksekutif. Bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusan pada seseorang penguasa apabila ia melaggar hak-hak rakyat.[30] Prinsip peradilan yang bebas dijelaskan dalam Q.S. An nisaa ayat (58) yang berbunyi “وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ” yang berarti “Bila kamu menetapkan hukum di antara manusia maka hendaklah kamu tetapkan dengan adil”. Dalam bidang justisial, secara normatif mewajibkan tercantum kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[31] pada setiap putusan hakim. Di samping itu, mengenai peradilan terdapat pengakuan eksistensi terhadap Peradilan Agama sebagai peradilan yang independen.[32] Peradilan agama merupakan peradilan bagi orang-orang Islam dengan kewenangan memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata antara orang Islam.[33]
  5. Prinsip kesejahteraan, dalam prinsip ini ada motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan yaitu doktrin Islam “hablun min Alah wa hablun min annas”, yaitu aspek ibadah dan aspek mu’amalah. Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat.[34]
Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif UUD 1945
Dalam membahas hubungan antara negara dengan Agana Islam tersebut kiranya layak dipertimbangkan beberapa pemikiran dari kalangan intelektual Islam. Teori-teori yang dikembangkan oleh kalangan intelektual Islam kodern mengenai hubungan antara agama dengan negara yaitu: antara agama dan negara tidak perlu dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi.[35]
Berdasarkan pengalaman sejarah Negara Indonesia dalam rangka mengimplementasikan UUD 1945 dalam hubungannya dengan kehidupan keagamaan, maka muncul respons-respons negatif terhadap UUD 1945, terutama pada Pancasila dalam hubungan negara dan agama dari kalangan politik Islam. Apapun alasan yang dikemukakan tidak didasarkan pada tealitas objektif, tetapi yang jelas ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan adanya suatu kekacauan pengetahuan (epistemology mistake) akan Pancasila dan kekerdilan pemikiran anak bangsa tentang filsafat dan kepribadiannya sendiri.[36]
Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme da imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraandi antara komponen bangsa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan tersebut, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai ketuhanan Yang Maha Esa.[37]
Prinsip ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa manusia merupakan ciptaan tuhan yang dilahirkan untuk mengembn tugassebagai khalifah di bumi dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segeap makhluk hidup, serta untuk menjaga kesiambungan alam itu sendiri.[38]
Prinsip ketuhanan juga berarti bahwa tindakan setiap manusia termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.  Di samping itu penataan hubungan antara agama dan negara harus  dibangun atas dasar simbiosis mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling melengkapi. Dalam konteks ini agama memberikan kerohanian yang dalam sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.[39]
Selanjutnya dalam toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia dijamin oleh konstitusi negara, yaitu Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2). Berkaitan toleransi dalam kehidupan umat beragama di negeri ini nampaknya the founding parents senada dengan Piangam Madinah Pasal 25 dan Paal 37, bahwa umat muslim hidup secara dama dengan umat agama lainnya dan menciptakan perdamaian (mu’ahad).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

motivasi seorang guru


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

paradigma baru pendidikan islam


Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif [kedewasaan], baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba [abd] dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” [khalifah] pada semesta [Tafsir, 1994]. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik [generasi penerus] dengan kemampuan dan keahlian [skill] yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat [lingkungan], sebagai tujuan akhir dari pendidikan. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam, sebagai proses pembentukan diri peserta didik [manusia] agar sesuai dengan fitrah keberadaannya [al-Attas, 1984]. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan – terutama peserta didik — untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasid-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses ‘isolasi diri’ dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada. Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa kejayaan sepanjang abad pertengahan, di mana peradaban dan kebudayaan Islam berhasil menguasai jazirah Arab, Asia Barat dan Eropa Timur, tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa tersebut [M. Khoirul Anam,From: http://www.pendidikan.net/mk-anam.html,akses: 12/8/2003]. Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma [paradigma shift] dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia.
Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia [H.A.R. Tilaar, 1999:168], oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut. Arah perubahan paradigma pendidikan dari paradigma lama ke paradigma baru, terdapat berbagai aspek mendasar dari upaya perubahan tersebut, yaitu, Pertama, paradigma lama terlihat upaya pendidikan lebih cenderung pada : sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, pendidikan didisain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, keamanan, serta teknologi perakitan. Peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan lemahnya peran institusi pendidikan dan institusi non-sekolah. Kedua, paradigma baru, orientasi pendidikan pada: disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan itekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan, pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha [Fasli Jalal, 2001: 5], lemabag-lembaga kerja, dan pelatihan, dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat Indonesia berkualitas dan kritis. Berdasarkan pandangan ini, pendidikan yang dikelola lembaga-pelmabaga Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasi ke masa lalu [abad pertengahan] ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan, mengalihkan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan berjiwa demokrati [Winarno Surakhmad, From: http://www. Bpk penabur.or.id / kps-jkt/berita/200006/ artikel2.htm, 27 Mei 2002].
Mengalihkan paradigma dari pendidikan sentralisasi ke paradigma pendidikan desentralisasi, sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan peserta didik. Proses pendidikan perlu dilakukan “kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain, pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan dalam rangka pemberdayaan umat dan bangsa, pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan. Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan, penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan. Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan terpadu secara horizontal antarsektor dan vertikal antar jenjang – bottom-up dan top-down planning, pendidikan harus berorientasi pada peserta didik dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan perspektif global” [Fasli Jalal, 2001: 5]. Rumusan paradigma pendidikan tersebut, paling tidak memberikan arah sesuai dengan arah pendidikan, yang secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju masyarakat Indonesia yang demokratis, relegius, kritis. Berkualitas, dan tangguh dalam menghadapi lingkungan global. Maka upaya pembaruan pendidikan Islam, perlu ada ikhtiar yaitu strategi kebijakan perubahan diletakan pada upaya menangkap kesempatan perubahan, maka mau tidak maun, pendidikan Islam harus meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru, berorientasi pada masa depan, merintis kemajuan, berjiwa demokratis, bersifat desentralistik, berorientasi pada peserta didik, bersifat multicultural, berorientasi pada perspektif global, sehingga terbentuk paradigma pendidikan yang berkualitas dalam menghadapi tantangan prubahan global menuju terbentuknya masyarakat Indonesia yang demokratis, kritis, dan berkualitas. Pada dataran konsep, pendidikan baik formal maupun non formal “pada dasarnya memiliki peran penting melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada dan sebaliknya pendidikan merupakan proses perubahn sosial. Tetapi, peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya” [Mansour Fakih,2002: 18]. Dari pandangan di atas, dapat dikatakan peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro [kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan], melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya” [ Fasli Jalal, 2001:16-17.], sehingga pendidikan Islam terintegrasi antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat [learning society]. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education [1978], menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangkan, secara mikro pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik [Fasli Jalal, 2001: 16], dalam kerangka interaksi proses belajar. Kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep, yaitu : Pertama, pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain. Pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang berkualitas dan kritis. Oleh karena itu, pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Kedua, pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan. Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama. Kelima, dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik. Keenam, prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat Indonesia baru. Pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan. Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Kedelapan, prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan. Kesembilan, prinsip pendidikan multicultural, bahwa sistem pendidikan harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif. Kesepuluh, pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global [Fasli Jalal, 2001:16-17]. Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam pada pendahuluan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif- progresif, yakni : Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan [talab al- ilm] di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan [balancing] antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selam
a masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan ,minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang, tentunya, akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar- benar mampu menghadapi tantangan jaman dan peka terhadap lingkungan [M. Khoirul Anam,From: http://www. pendidikan.net/mk-anam.html,akses: 12/8/2003]. Faktor lain yang membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin [pemerintah] atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat Dari pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk membangun pendidikan Islam berwawasan global bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menamkan nilai-nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karaktek budaya nasional Indonesia dan budaya global. Upaya untuk membangun pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis. Misalnya saja, bangsa Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa, meskipun saat sekarang ini “konsep nationalstate mulai diragukan, dan diganti dengan nelfare state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi informasi, tetapi pembinaan karaktek nasional tetap relevan dan bahkan harus dilakukan” [Fasli Jalal, 2001:18] yang maju dengan tetap kental dengan nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai relegius. Dengan contoh bangsa Jepang tersebut, sebenarnya pembinaan dan pembentukan nilai-nilai Islam tetap relevan, bahkan tetap dibutuhkan dan harus dilakukan sebagai “kapital spritual” untuk masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Dari pandangan ini, tergambar bahwa peran pendidikan sangatlah senteral dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami penggeseran, sementara “sistem sosial, politik, dan ekonomi bangsa selalu menjadi penentu dalam penetapan dan pengembangan peran pendidikan” Fasli Jalal, 2001: 6]. Pendidikan Islam harus dapat megembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju masyarakat Indonesia yang demokratis, berkualitas, dan kritis. Pendidikan harus dikembangkan berdasarkan tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat yang demokratis, berkualitas dan kritis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi, kemampuan kerja sama, mengembangkan sikap inovatif, serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini, secara pasti yang akan terjadi adalah penggeseran paradigma pendidikan, sehingga kebijakan dan strategi pengembangan pendidikan perlu diletakan untuk menangkap dan memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan tersebut, apabila tidak, maka pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang “termarginalkan” dan tertinggal ditengah-tengah kehidupan masyarakat global. Pergeseran drastis paradigma pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total diberbagai aspek kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk merubah kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani Indonesia. Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari “percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal [SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence [distributed knowledge]” [Onno W. Purbo, From: http:// www. detik. com/net/ onno/ jurnal/ 20004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml. 2000]. Kondisi ini, akan berpengaruh pada fungsi tenaga pendidik [guru dan dosen] dan lembaga pendidikan “akhirnya beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi “mediator” dari ilmu pengetahuan tersebut. Proses long life learning dalam dunia pendidikan informal yang sifatnya lebih learning based dari pada teaching based akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Peranan web, homepage, cd-rom merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge semakin berkembang. Hal ini, secara langsung akan menetang sistem kurikulum yang rigid dan sifatnya terpusat dan mapan yang kini lebih banyak dianut dan lebih difokuskan pada pengajaran [teaching] dan kurang pada pendidikan [learning-based]” [Onno W. Purbo, From: http:// www. detik. com/net/ onno/ jurnal/ 20004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml. 2000]. Ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran yang sifatnya konsensus bersama dan tidak terikat pada dimensi birokrasi atau struktural. Pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, yaitu: [a] Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau “lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada mengajar [teaching]”. [b] Pendidikan Islam dapat “diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel”. [c] Pendidikan Islam dapat “memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri”, dan [d] Pendidikan Islam, “merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan” [Zamroni,2000:9]. Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat. Dalam “pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja
dan di masyarakat pada umumnya” [ Zamroni, 2000:9]. Dengan kata lain pendidikan yang bersifat double tracks, menekankan pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan formal persekolahan, sehingga “sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah dengan cepat” [Zamroni,2000:9]. Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa “paradigma baru pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang terus-menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan Iptek, sebagaimana zaman keemasan dulu. Pencarian paradigma baru dalam pendidikan Islam dimulai dari konsep manusia menurut Islam, pandangan Islam terhadap Iptek, dan setelah itu baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh” [Mastuhu, 1999:15]. Pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang berorientasi pada: [1] Paradigma baru pendidikan Islam harus didasarkan pada filsafat teocentris dan antroposentris sekaligus. Pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan juga sisi rasional” [Mastuhu,1999:15]. [2] Pendidikan Islam mampu membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi kehidupan manusia. [3] Pendidikan Islam mampu membangun kompotisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif, inovatif berdasarkan nilai-nilai Islam. [4] Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan datang, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara capat dan tepat. Pendidikan Islam yang dikembangkan selalu diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan. [5] Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat madani. Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi sosial, mentaati dan menghargai supermasi hukum, menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan [pluralisme], memiliki kemampuan kompotetif dan kemampuan inovatif. [6] Penyelenggaraan pendidikan Islam harus diubah berdasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat sentralistik baik dalam manajemen maupun dalam penyusunan kurikulum harus disesuaikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralistik. Pendidikan Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi di dalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia. [7] Pendidikan Islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. [8] Pendidikan Islam harus di arahkan pada dua dimensi, yaitu “Pertama, dimensi dialektika [horizontal] yaitu pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan Kedua, dimensi ketunduhan vertikal, yaitu pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah Swt” [ Hujair AH. Sanaky,1999:11]. [9] Pendidikan Islam lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif, pendidikan sebagai wahana membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik, pendidikan menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan”, dan harus dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan” [ Djohar,“Soal Reformasi Pendidikan Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No.2/89”, Kedaulatan Rakyat, 4 Mei 1999, Yogyakarta], karena pada era informasi sekarang ini, informasi ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai media ilektornik dan media massa, seperti : internet dengan peran web, homepage, cd-rom, diskusi di internet, dan televisi, radio, surat kabar, majalah yang merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge. Paradigma lama pendidikan Islam yang telah terbangun sejak abad pertengahan [periode Islam], dengan mengkaji dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode hafalan, bersifat mekanis, mengutamakan pengkayaan materi, sudah harus ditinggalkan untuk menuju paradigma baru pendidikan. Faisal Ismail, menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran dalam Islam bukanlah sekedar kegiatan untuk mewariskan harta kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya memungkinkan bersifat reseptif, pasif, menerima begitu saja. Akan tetapi pendidikan Islam harus berusaha mengembangkan dan melatih peserta didik untuk lebih bersifat direktif, mendorong agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun. Pendidikan Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasai dengan “keluhuran moral” dan “kepribadian”, sehingga pendidikan Islam akan mampu mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang belajar terus [long life education], mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan [Faisal Ismail,1998:97-98], serta berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat. Paradigma baru pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pembangunan, pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan, penalaran, inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural, dan mampu menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan dilandasi keanggunan moral dan akhlak dalam usaha membangun manusia dan masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam masyarakat madani Indonesia. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

contoh kata pengantar dan daftar isi


KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, berkat rahmat, hidayah, serta karuniaNya. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan Penyusunan makalah ini. Solawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw, beserta pengikutnya.
            Penyusunan Makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas  Mata Kuliah Kapita Selekta Pendidikan. Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan mengenai Konsep Otonomi Pendidikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu sudi kiranya bagi siapapun dan dalam bentuk apapun untuk menyumbangkan kritik dan saran sebagai penyempurna makalah-makalah selanjutnya
Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan semua pihak yang membacanya. Amin…



Banjar, 22 Desember 2012

Penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
BAB 11 PEMBAHASAN
2
2.1 Pengertian Profesi ……………………………………………………………………..
  3
2.2 Guru Sebagai Profesi ……………………………………………………………………
3
2.3 Kompetensi Guru Profesional …………………………………………………………
4
2.4 Kode Etik Profesi Guru …………………………………………………………………
7
BAB III PENUTUP
10
A.     Kesimpulan ………………………………………………………………….
10
DAFTAR PUSTAKA
11








  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

sistem pendidikan di indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian yang inhern dalam kehidupan manusia. Dan, manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Karena hal itulah, maka pendidikan merupakan sebuah proses yang sangat vital dalam kelangsungan hidup manusia. Tak terkecuali pendidikan Islam, yang dalam sejarah perjalanannya memiliki berbagai dinamika. Eksistensi pendidikan Islam senyatanya telah membuat kita terperangah dengan berbagai dinamika dan perubahan yang ada.
Berbagai perubahan dan perkembangan dalam pendidikan Islam itu sepatutnya membuat kita senantiasa terpacu untuk mengkaji dan meningkatkan lagi kualitas diri, demi peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan Islam di Indonesia. Telah lazim diketahui, keberadaan pendidikan Islam di Indonesia banyak diwarnai perubahan, sejalan dengan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Sejak dari awal pendidikan Islam, yang masih berupa pesantren tradisional hingga modern, sejak madrasah hingga sekolah Islam bonafide, mulai Sekolah Tinggi Islam sampai Universitas Islam, semua tak luput dari dinamika dan perubahan demi mencapai perkembangan dan kemajuan yang maksimal.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dicoba untuk dikaji dan digali, sehingga diharapkan mampu menambah wawasan terkait pendidikan Islam dan eksistensinya di Indonesia. Beberapa rumusan masalah tersebut di antaranya:
1. Bagaimana akar dan awal mula pendidikan Islam di Indonesia?
2. Apa saja jenis lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia?
3. Bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pesantren; Akar Pendidikan Islam di Indonesia
Terkait kemunculan dan masuknya Islam di Indonesia, sampai saat ini masih menjadi kontroversi di kalangan para ilmuwan dan sejarawan. Namun demikian, mayoritas dari mereka menduga bahwa Islam telah diperkenalkan di Indonesia sekitar abad ke-7 M oleh para musafir dan pedagang muslim, melalui jalur perdagangan dari Teluk Parsi dan Tiongkok. Kemudian pada abad ke-11M sudah dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk di kepulauan Nusantara melalui kota-kota pantai di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Dan, pada abad itu pula muncul pusat-pusat kekuasaan serta pendalaman studi ke-Islaman. Dari pusat-pusat inilah kemudian akhirnya Islam dapat berkembang dan tersebar ke seluruh pelosok Nusantara. Perkembangan dan perluasan Islam itu tidak lain melalui para pedagang muslim, wali, muballigh dan ulama’ dengan cara pendirian masjid, pesantren atau dayah atau surau.
Pada dasarnya, pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal, pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif antara muballigh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim daerah terbentuk di suatu daerah tersebut, mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini masjid. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul, di samping rumah tempat kediaman ulama’ atau muballigh.
Setelah penggunaan masjid sudah cukup optimal, maka kemudian dirasa perlu untuk memiliki sebuah tempat yang benar-benar menjadi pusat pendidikan dan pembelajaran Islam. Untuk itu, muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah ataupun surau. Nama–nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan keagamaan.
Pesantren sebagai akar pendidikan Islam, yang menjadi pusat pembelajaran Islam setelah keberadaan masjid, senyatanya memiliki dinamika yang terus berkembang hingga sekarang. Menurut Prof. Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Pesantren sejatinya telah berkiprah di Indonesia sebagai pranata kependidikan Islam di tengah-tengah masyarakat sejak abad ke-13 M, kemudian berlanjut dengan pasang surutnya hingga sekarang. Untuk itulah, tidak aneh jika pesantren telah menjadi akar pendidikan Islam di negeri ini. Karena senyatanya, dalam pesantren telah terjadi proses pembelajaran sekaligus proses pendidikan; yang tidak hanya memberikan seperangkat pengetahuan, melainkan juga nilai-nilai (value). Dalam pesantren, terjadi sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, yang merupakan proses pemberian ilmu secara aplikatif.
Menurut Muhammad Tolhah Hasan dalam bukunya Dinamika Tentang Pendidikan Islam, disebutkan bahwa komponen-komponen yang ada dalam pesantren antara lain:
a. Kyai, sebagai figur sentral dan dominan dalam pesantren, sebagai sumber ilmu pengetahuan sekaligus sumber tata nilai.
b. Pengajian kitab-kitab agama (kitab kuning), yang disampaikan oleh Kyai dan diikuti para santri.
c. Masjid, yang berfungsi sebagai tempat kegiatan pengajian, disamping menjadi pusat peribadatan.
d. Santri, sebagai pencari ilmu (agama) dan pendamba bimbingan Kyai.
e. Pondok, sebagai tempat tinggal santri yang menampung santri selama mereka menuntut ilmu dari Kyai.
Sedangkan dalam proses pembelajaran dan proses pendidikan, di pesantren menggunakan dua sistem yang umum, yakni:
a. Sistem “sorogan” yang sifatnya individual, yakni seorang santri mendatangi seorang guru yang akan mengajarkan kitab tertentu, yang umumnya berbahasa Arab.
b. Sistem “bandongan” yang sering disebut dengan sistem weton. Dalam sistem ini, sekelompok santri mendengarkan dan menyimak seorang guru yang membacakan, menerjemahkan dan mengulas kitab-kitab kuning. Setiap santri memperhatikan kitab masing-masing dan membuat catatan yang dirasa perlu.
Kelompok bandongan ini jika jumlahnya tidak terlalu banyak, maka disebut dengan halaqoh yang arti asalnya adalah lingkaran. Di pesantren-pesantren besar, ada lagi sistem lain yang disebut musyawarah, yang diikuti santri-santri senior yang telah mampu membaca kitab kuning dengan baik.
Hingga kini, keberadaan pesantren telah mengalami berbagai dinamika, sejak dari pesantren tradisional hingga pesantren modern.
B. Lembaga-lembaga pendidikan Islam setelah Pesantren
Eksistensi pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya, antara lain:
a. Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang lebih modern dibanding pesantren, baik ditinjau dari sisi metodologi maupun kurikulum pengajarannya. Kendati demikian, kemunculan madrasah ini tidak lain diawali oleh keberadaan pesantren. Sebagian lulusan pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Mesir. Lulusan-lulusan Islam Timur Tengah itulah yang kemudian akhirnya menjadi pemrakarsa pendirian madrasah-madrasah di Indonesia.
Dalam madrasah, sistem pembelajaran tidak lagi menggunakan sorogan ataupun bandongan, melainkan lebih modern lagi. Madrasah telah mengaplikasikan sistem kelas dalam proses pembelajarannya. Elemen yang ada dalam madrasah juga bukan lagi Kyai dan santri, tetapi murid dan guru (ustad/ustadzah). Dan metode yang digunakan juga beragam, bisa ceramah, atau drill dan lain-lain, tergantung pada ustad/ustadzah atau guru.
b. Sekolah-sekolah Islam
Di samping madrasah, lembaga pendidikan Islam yang berkembang hingga sekarang adalah sekolah-sekolah Islam. Pada dasarnya, kata sekolah merupakan terjemah dari madrasah, hanya saja madrasah adalah kosa kata bahasa Arab, sedangkan sekolah adalah bahasa Indonesia. Namun demikian, pada aplikasinya terdapat perbedaan antara madrasah dan sekolah Islam. Madrasah berada dalam naungan Kementrian Agama (Kemenag), sedangkan sekolah Islam pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Selain itu,dari segi bobot muatan materi keagamaannya, madrasah lebih banyak materi agama dibanding sekolah Islam.
c. Pendidikan Tinggi Islam
Pendidikan Tinggi Islam juga merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang modern. Dalam sejarah, pendidikan tinggi Islam yang tertua adalah Sekolah Tinggi Islam (STI), yang menjadi cikal bakal pendidikan tinggi Islam selanjutnya. STI didirikan pada 8 Juli 1945 di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, dan pada tahun 1948 resmi berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Selanjutnya, UII merupakan bibit utama dari perguruan-perguruan tinggi swasta yang kemudian berkembang menjadi beberapa Universitas Islam yang populer di Indonesia, seperti misalnya Universitas Ibn Kholdun di Bogor, Universitas Muhammadiyah di Surakarta, Universitas Islam Sultan Agung di Semarang, Universitas Islam Malang (UNISMA) di Malang, Universitas Islam Sunan Giri (UNSURI) di Surabaya, Universitas Darul ‘Ulum (UNDAR) di Jombang dan lain-lain.
Menurut Tolhah Hasan, perkembangan dan kemajuan perguruan tinggi Islam di Indonesia banyak ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya: kredibilitas kepemimpinan, kreativitas manajerial kelembagaan, pengembangan program akademik yang jelas dan kualitas dosen yang memiliki tradisi akademik.
C. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia
Tak dapat dipungkiri, bahwa seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pendidikan Islam juga mengalami berbagai dinamika. Tak hanya pada pesantren, bahkan madrasah dan perguruan tinggi Islam pun tak luput dari dinamika yang ada.
Pesantren yang dulunya masih tradisional senyatanya mengalami beberapa perubahan dan perkembangan, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pesantren yang dulunya tradisional, dalam pola pembelajaran dan muatan materi serta kurikulumnya, kini telah mengalami perkembangan dengan mengadaptasi beberapa teori-teori pendidikan yang dirasa bisa diterapkan di lingkungan pesantren. Alhasil, kini semakin banyak bermunculan pesantren modern, yang dalam pola pembelajarannya tidak lagi konvensional, tapi lebih modern dengan berbagai sentuhan manajemen pendidikan yang dinamis. Mayoritas pesantren dewasa ini juga memberikan materi dan muatan pendidikan umum. Tidak sedikit pesantren yang sekaligus memiliki lembaga sekolah dan manajemennya mengacu pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sedangkan dinamika sistem pendidikan madrasah dapat dicatat dari beberapa perubahan, seperti dimasukkannya mata pelajaran umum dalam kurikulumnya, meningkatkan kualitas guru dengan memperhatikan syarat kelayakan mengajar, membenahi manajemen pendidikannya melalui akreditasi yang diselenggarakan pemerintah, mengikuti ujian negara menurut jenjangnya.
Tak pelak, bahwa dinamika pendidikan Islam, di samping kemadrasahan, juga muncul persekolahan yang lebih banyak mengadopsi model sekolah barat. Dan, kemunculannya itu antara lain dipicu oleh kebutuhan masyarakat muslim yang berminat mendapatkan pendidikan yang memudahkan memasuki lapangan kerja dalam lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta yang mensyaratkan memiliki keterampilan tertentu, seperti teknik, perawat kesehatan, administrasi dan perbankan.
Pada perguruan tinggi Islam pun sejatinya juga mengalami berbagai perubahan dan perkembangan. Dinamika dalam pendidikan tinggi Islam ini salah satunya dapat diraba dari perubahan status dari Sekolah Tinggi, menjadi Institut, hingga kini menjadi Universitas.







BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Berdasarkan pada paparan dan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendidikan Islam di Indonesia sejatinya berlangsung sejak masuknya Islam di Indonesia dengan masjid sebagai pusat peribadatan dan tempat belajar. Setelah penggunaan masjid cukup optimal, maka muncullah pesantren yang kemudian menjadi akar pendidikan Islam di Indonesia.
2. Keberadaan pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam lain setelah pesantren, di antaranya madrasah, sekolah-sekolah Islam dan Perguruan Tinggi Islam.
3. Dalam perjalanannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tak luput dari berbagai dinamika yang ada, seiring dengan perkembangan zaman. Pesantren, dari jenis pesantren tradisional ke pesantren modern. Madrasah yang semakin memperbaiki kualitasnya dengan berbagai upaya, salah satunya peningkatan kualitas guru. Dan, perguruan tinggi Islam yang dulunya masih berstatus Sekolah Tinggi, berkembang menjadi Institut hingga akhirnya menjadi Universitas.








DAFTAR PUSTAKA

Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Hasan, M. T. (2006). Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press.
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren . Jakarta: INIS.















  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS