Kepribadian Muhammadiyah
Latar Belakang Dirumuskannya Kepribadian Muhammadiyah
1. Adanya
kekaburan terhadap pemahaman Agama Islam di kalangan Muhammadiyah, termasuk di
kalangan para aktifis Muhammadiyah., khususnya para penerus perjuangan
Muhammadiyah, lebih-lebih di kalangan pengella amal usaha.
2. Memudarnya
semangat perjuangan terjadinya penyimpangan gerak langkah Muhammdiyah disebabkan
ketidakjelasan arah, tujuan terhadap cita-cita perjuangan Muhammadiyah di
kalangan anggota khususnya pada generasi penerus Muhammadiyah.
3. Adanya
ketidakfahaman akan kepribadian Muhammadiyah pada para penerus perjuangan
Muhammadiyah, menyebabkan mereka terombang-ambing oleh gerakan-gerakan dan
paham agama yang berkembang dalam masyarakat.
4. Masuknya
pengaruh luar yang tidak sesuai dengan ruh, cita-cita semangat
perjuangan Muhammadiyah yang menyebabkan kelesuan / melemahkanya
dedikasi, hilangnya loyalitas terhadap cita-cita perjuangan Muhammadiyah, sikap
– mental yang materialistic, penyimpangan arah perjuangan
Muhammadiyah..
5.
Ceramah / uraian KH Faqih Usman yang berjudul “Apakah
Muhammadiyah itu ?” dalam sebuah Kursus Pimpinan Muhammadiyah di bulan Ramadhan
tahun 1381 H, di Yogyakarta, yang diikuti oleh Pimpinan Muhammadiyah dari
seluruh Indonesia..
Kronologi Lahirnya Kepribadian Muhammadiyah dan
Pelaksanannya
1. Pada
Muktamar Muhammadiyah (darurat) tahun 1946 di Yogyakarta, telah diterima
rumusan “Muqdimah AD Muhammadiya” yang disusun oleh Ki Bagus Hadikusumo (Ketua
PB Mhammadiyah 1942 – 1953), kemudian disempurnakan dan disahkan dalam Sidang
Tanwir 1951 , yang merupakan amanat Muktamar ke 31 tahun 1950 di Yogyakart.
2. Pada
Muktamar ke 33 tahun di Palembang
telah disahkan rumusan ‘Khiththah Muhammadiyah”
3. Pada
Muktamar ke 35 (setengah abad) tahun 1962 di Jakarta , disahkan rumusan Kepribadian
Muhammadiyah.
4. Pada
Muktamar ke 37 tahun 1968 di Yogyakarta disah keputusan tentang tajdid di
bidang ideology meliputi (a) Ideologi (Matan Cita-cita dan Keyakinan hidup
Muhammadiyah = MKCH), (b) Khiththah Perjuangan. Gerak dan amal
usaha Organisasi.
5. Pada
Muktamar Muhammadiyah ke 38 tahun 1971 di Ujung Pandang
(Makassar ) disahkan keputusan tentang
‘Peningkatan Muhammadyah Sebagai Gerakan Dakwah Islam.’
6.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke 39 tahun 1975 di Padang
telah disahkan keputusan tentang program ‘Peningkatan Dakwah
Muhammadiyah’
Perumus Kepribadian Muhammadiyah ;
Konsep awal kepribadian
Muhammdiyah dilontarkan oleh KH Faqih Usman dalam sebuah kursus pimpinan
yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah dan diikuti oleh pimpinan
Muhammadiyah seluruh Indonesia
pada bulan Ramadhan 1381 H di Yogyakarta. Pada waktu itu KH Faqih Usman
memberikan kuliahnya dengan judul “ Apakah Muhammadiyah itu?’
Konsep itu kemudian disempurnakan oleh sebuah tim yang
anggotanya adalah ;
1. KH
Faqih Usman.
2. Prof.
H.Farid Makruf,
3. H.Djarnawi
Hadikusumo,
4. M.
Djindar Tamimy,
5. Dr.
Hamka,
6. KH
R. Muhd Wardan Diponingrat,
7.
M. Saleh Ibrahim
Pengertian dan Fungsi Kepribadian Muhammadiyah
Kepribadian Muhammadiyah bukanlah hal
(sesuatu) yang baru, Kepribadian Muhammadiyah adalah sesuatu yang menyatu
dalam diri Muhammadiyah yang merupakan karakter / watak Muhammadiyah yang
menjadi ciri Muhammadiyah. Kepribadian Muhammadiyah adalah rumusan hasil
penggalian dari filosofi, pokok-pokok pikiran, prinsip dasar perjuangan,
metode perjuangan, tindakan dan gerak langkah KHA Dahlan; para
murid-muridnya dan aktifis Muhammadiyah pada waktu awal.. Dengan demikian,
dalam rumusan itu berbagai hal yang tidak sesuai dengan gagasan,
cita-cita perjuangan Muhammadiyah dan keteladanan KHA Dahlan dan para muridnya
telah dibersihkan. Ringkasnya rumusan itu telah dibersihkan dari hal-hal yang
tidak sesuai dengan ajaran dan keteladanan Nabi Muhammad SAW’
Fungsi Kepribadian Muhammadiyah adalah
untuk menjadi landasan, pedoman dan pegangan para pemimpin,
aktifis dan anggota Muhammadiyah dalam menjalankan roda organisasi, gerakan dan
amal usaha agar tidak terombang-ambing oleh pengaruh luar dan tetap istiqomah
kepada cita-cita dan perjuangan Muhammadiyah serta cara memperjuangkan
cita-citanya. Artinya tidak terpengaruh oleh paham-paham agama lain,
ideologi-ideologi lain, aliran-aliran agama lain, isme-isme, gerakan-gerakan
politik, gaya hidup,
kebudayaan dan peradaban non muslim serta cara berpikir non muslim (seprti cara
berpikir Barat, sekuler, liberal dsb)
HAKIKAT MUHAMMADIYAH
Perkembangan masyarakat Indonesia , baik yang disebabkan
oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari
luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh
segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan
kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta
tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti
perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk
melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal
usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai
usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung
tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang
diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah
berjalan diatas prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan
Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu
senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal
usaha dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta
dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai
Persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar-ma'ruf
nahi mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk
keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha
seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk
meningkatkan mutunya
Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian
ikhtiar Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang
bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat utama,
adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
MUHAMMADIYAH DAN POLITIK
Dalam
bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah
amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya,
Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara
operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur
masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera,
bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan
usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya
Usaha
Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya dalam masyarakat,
dan dilaksanakan berdasarkan landasan dan peraturan yang berlaku dalam
Muhammadiyah.
Dalam
hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa:
Muhammadiyah
adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia
dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak
merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun
Setiap
anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau
memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan
Muhammadiyah.
MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH
Sesuai
dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan golongan Islam
manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela
kepentingannya.
Dalam
melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan
mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya.
1. DASAR PROGRAM MUHAMMADIYAH
Berdasarkan landasan serta pendirian
tersebut di atas dan dengan memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah
dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
Memulihkan kembali Muhammadiyah
sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari
muslimin dan muslimat yang beriman teguh, ta'at beribaclah, berakhlaq mulia,
dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Meningkatkan pengertian dan
kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga
negara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan
sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat
Menepatkan kedudukan Persyarikatan
Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar
ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di
Negara Republik Indonesia
yang berdasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
2. Dasar Amal Usaha Muhammadiyah.
1. Hidup
manusia itu berdasar tauhid, ibadah dan taat kepada Allah SWT.
2. Hidup
manusia bermasyarakat.
3. Mematuhi
ajaran-ajaran Agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu
satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat
4. Menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai
ibadah kepa Allah dan ihsan kepada kemanusian.
5. Ittiba’
kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
6.
Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban
organisasi.
3. Pedoman Amal Usaha Muhammadiyah
1. Berpegang
teguh pada ajaran Allah dan RasulNya.
2.
Bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan
dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai Allah.
4. Sifat Muhammadiyah.
1. Beramal
dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.
2. Memperbanyak
kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
3. Lapang
dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam.
4. Bersifat
keagamaan dan kemasyarakatan.
5. Mengindahkan
segala hukum, undang-undang, peraturan serta Dasar dan Falsafah Negara
yang sah.
6. Amar
ma’ruf nahi mungkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh tauladan yang
baik.
7. Aktif
dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan
ajaran islam.
8. Bekerja
sama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan
agama Islam serta membela kepentingannya.
9. Membantu
pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain dalam memelihara dan
membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah.
10. Bersifat
adil serta korektif kedalam dan keluar dengan bijaksana..
Paham Keagamaan Muhammadiyah
1. Sumber Ajaran Islam
Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak
sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai
perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam yang
bersumber dari dua sumber primer ajaran ini. Yakni Alquran dan Assunnah
Almaqbulah. Hal ini bisa kita lihat di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah
BAB II Pasal 4 ayat 1. Hanya saja istilah Assunnah Almaqbulah baru
digunakan setelah diresmikan istilahnya pada Keputusan Musyawarah Nasional
Majlis Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di
Jakarta tahun 2000, dan sebelumnya digunakan istilah Assunnah Ashshahihah.
Untuk mencapai maksud dan tujuannya yaitu mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, maka Muhammadiyah melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di
segala bidang kehidupan. Dalam pengembangan bidang keagamaan dan dakwah
ditangani oleh dua majlis yaitu Majlis Tarjih dan Tajdid (MTT) dan Majlis
Tabligh dan Dakwah Khusus (MT-DK).
Pemahaman Ajaran Islam
Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis
besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
1. Agama,
yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. ialah apa yang
diturunkan Allah dalam Alquran dan yang disebut dalam Sunnah maqbulah,
berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk
kebaikan manusia di dunia dan akhirat (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams
tentang al-Din).
2. Muhammadiyah
berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para
Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai
kepada Nabi Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat
manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan
spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2).
3. Muhammadiyah
bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
(a) ‘Aqidah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan
prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq; Muhammadiyah bekerja untuk
tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran
Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia;
(c) ‘Ibadah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah
S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah dunyawiyat;
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia
dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan
semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T. (MKCH,
butir ke-4).
4. Islam
adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi,
agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi
manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan
sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya
agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. (Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam Tentang Kehidupan).
5. Bahwa
dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Alquran dan Sunnah. Bahwa
di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat
dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan
‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dalam
Alquran dan Sunnah maqbulah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan
ijtihad dan istinbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat, sebagaimana
telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail
Al-Khams tentang Qiyas).
6.
Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua
pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi) (Keputusan
Munas Tarjih di Malang).
Salah satu dari enam prioritas program Muhammadiyah periode 2005-2010
ialah pengembangan tajdid di bidang tarjih dan pemikiran Islam secara intensif
dengan menguatkan kembali rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta
gagasan operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip
dasar organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan (Keputusan
Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005).
Mengingat kecenderungan atau gejala melemahnya dan dangkalnya pemahaman
mengenai Islam dalam Muhammadiyah, pada saat yang sama, terdapat fenomena orang
Muhammadiyah mengembangkan paham sendiri-sendiri atau malah mengikuti paham
lain, maka diperlukan ikhtiar sistematis untuk menanamkan atau memantapkan
kembali paham Agama (Islam) dalam Muhammadiyah. Di antara langkah-langkah untuk
menanamkan (memantapkan) kembali paham Islam dalam Muhammadiyah ialah sebagai
berikut:
1. Majelis
Tarjih memproduksi/menghasilkan berbagai pedoman/tuntunan tentang ajaran Islam
dalam berbagai aspek kehidupan baik yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlak,
maupun mu’amalat duniawiyah secara lengkap, mudah dipahami, dan bervariasi
untuk dijadikan pedoman dan dimasyarakatkan/dipublikasikan sesuai dengan
keputusan-keputusan Muktamar/Munas Tarjih.
2. Pimpinan
Persyarikatan diikuti oleh Organisasi Otonom, amal usaha, dan berbagai
institusi dalam Muhammadiyah di berbagai tingkatan dari Pusat hingga Ranting
menggiatkan kembali Kajian Intensif Islam dalam Muhammadiyah, serta
menyelenggarakan Pengajian Pimpinan dan Pengajian Anggota, yang di dalamnya
dipaketkan materi khusus secara mendalam dan luas tentang Paham Agama (Islam)
dalam Muh mmadiyah.
3. Menggiatkan
pengajian-pengajian umum yang membahas tentang Islam multiaspek dalam
Muhammadiyah baik secara rutin maupun dengan memanfaatkn momentum-momentum
tertentu.
4. Menyebarluaskan
paham agama (Islam) dalam Muhammadiyah ke berbagai lingkungan serta media
publik, termasuk melalui website, internet, dakwah seluler, dan sebagainya
sehingga paham Islam yang dikembangkan Muhammadiyah dapat dibaca, dipahami, dan
diamalkan oleh umat Islam dan masyarakat luas.
5.
Menghidupkan kembali kultum/pengajian singkat di
berbagai kegiatan, yang antara lain menjelaskan tentang berbagai aspek ajaran
Islam yang dipahami dan dipraktikan Muhammadiyah, sehingga bukan sekadar
membahas masalah-masalah organisasi belaka, kendati tetap penting.
2. Bidang Aqidah
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai
konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan
merujuk langsung kepada suber utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah
shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran teologis.
Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pertama, nash sebagai dasar rujukan. Semangat
kembali kepada Alquran dan Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umm pada setiap
gerakan pembaharuan. Karena diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman
pada kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara
dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema sentral gerakannya,
lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti dinyatakan: “Inilah
pokok-pokok ‘aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam Alquran dan dikuatkan
dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
Berdasarkan pernyataan di atas, jelaslah bahwa sumber
aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang dikuatkan dengan
berita-berita yang mutawatir. Ketentuan ini juga dijelaskan lagi dalam
pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: “(5) Di dalam masalah
aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir, (6) Dalil-dalil umum Alquran
dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah, (16) dalam
memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang aqidah dan
takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.”
Ketentuan-ketentuan di atas jelas menggambarkan bahwa
secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari Alquran dan Sunnah tanpa
interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam aliran-aliran teologi pada
umumna. Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap pemikiran filosofis ini,
maka dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi mengundang perdebatan teologis
dalam pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaqquf seperti halnya kaum
salaf.
Kedua, keterbatasan peranan akal dalam soal
aqida Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang kenisbian akal dalam
masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi akal sebagai berikut “Allah tidak
menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai pengertian oleh akal
dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian
tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.”
Ketiga, kecondongan berpandangan ganda
terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala perbuatan telah ditentukan oleh
Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika ditinjau dari sisi
manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila
ditinjau dari sis Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Keempat, percaya kepada qadha’ dan qadar.
Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar diyakini sebagai salah
satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti
formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Kelima, menetapkan sifat-sifat Allah. Seperti
halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya, pandangan Muhammadiyah mengenai
sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail. Keterampilan yang
mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada aqidah salaf.
3. Bidang Hukum
Muhammadiyah melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap
mengikuti pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap
keberagaman menumal yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu
mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta
mengikutinya dengan pertimbangan logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan
ijtihad sebagai karakteristik utama organisasi ini. Adapun pokok-pokok utama
pikiran Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih
antara lain:
1. Ijtihad
dan istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang
terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbdi
dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia.
2. Tidak
mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat madzhab dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
3. Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling
benar. Koreksi dari siapa pun akan diterima sepanjang diberikan dalil-dalil
yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan
yang pernah ditetapkan.
4. Ibadah
ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan
perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu, dan ibadah
umum, yaitu segala perbuatan yang dibolehkan oleh Allah dalam rangka
mendekatkan diri kepadaNya.
5.
Dalam bidang ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan
akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui
bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal
memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
4. Bidang Akhlak
Mengingat pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang,
maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai
salah satu sendi dasar sikap keberagamaannya. Dalam Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah dijelaskan “Muhammadiyah bekerja untuk
tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran
Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada nilai-nilai ciptaan manusia.”
Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk
seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul
Mahmudah) dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan
sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).
Mengenai Muhammadiyah menjadikan akhlaq sebagai salah satu garis
perjuangannya, hal ini selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga
tidak dapat dipisahkan dari akar historis yang melatarbelakangi kelahirannya.
Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang Islam, melemahnya jiwa santun
terhadap dhu’afa’, pernghormatan yang berlebi-lebihan terhadap orang
yang dianggap suci dan lain-lain, adalah bentuk realisasi tidak tegaknya ajaran
akhlaqul karimah.
Untuk menghidupkan akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha
memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam,
yaitu dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran
dan Sunnah Maqbulah, membersihkan jiwa dari kesyirikan, sehingga
kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata kepada Allah. Usaha tersebut
ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh dan inferoritas
berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame muslim yang
disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103.
Adapun sifat-sifat akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Akhlaq
Rabbani : Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq
Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq
yang memiliki nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari
nilai moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
2. Akhlak
Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia
yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq
dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai
makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3. Akhlak
Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek
kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S.
Al-An’nam : 151-152).
4. Akhlak
Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia
maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi
secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap
masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
5.
Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan
hidup manusia walaupun manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki
kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki
kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan.
Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam
keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa
tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173) (http://luqm.multiply.com/journal/item/74).
5. Bidang Mu’amalah Dunyawiyah
Mua’malah : Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan hidup manusia
diatas bumi ini, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian,
ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam
hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi,
menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting
antara lain:
1. Menganut
prinsip mubah.
2. Harus
dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada yang dipaksa.
3. Harus
saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan untuk menarik
mamfaat dan menolak kemudharatan.
4.
Harus sesuai dengan prinsip keadilan.
C. Metodologi Ijtihad
Jalan Ijtihad yang ditempuh Majlis Tarjih meliputi :
1. Ijtihad
Bayan : yaitu ijtihad terhadap ayat yang mujmal baik karena belum jelas maksud
lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda,
mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang
konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabih) ataupun adanya beberapa dalil
yang bertentangan (ta’arrudl) dalam hal terakhir digunakan cara jama’ dan
talfiq.
2. Ijma’:
Kesepakatan para imam mujtahid di kalangan umat Islam tentang suatu hukum Islam
pada suatu masa (masa sahabat setelah Rasulullah wafat). Menurut kebanyakan
para ulama, hasil ijma’ dipandang sebagai salah satu sumber hukum
Islam sesudah Alquran dan Sunnah. Pemikiran tentang ijma’ berkembang
sejak masa sahabat sampai masa sekarang, sampai masa para imam mujtahid.
3. Qiyas:
Menyamakan sesuatu hal yang tidak disebutkan hukumnya di dalam nash,
dengan hal yang disebutkan hukumnya di dalam nash, karena adanya
persamaan illat (sebab) hukum pada dua macam hal tersebut, contoh:
hukum wajib zakat atas padi yang dikenakan pada gandum. Untuk Qiyas digunakan
dalam bidang muamalah duniawiyah, tidak berlaku untuk bidang ibadah mahdlah. La
qiyasa fil ibadah.
4. Maslahah,
atau Istislah. Yaitu, menetapkan hukum yang sama sekali tidak
disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup
manusia yang bersendikan mamfaat dan menghindarkan madlarat. Contoh,
mengharuskan pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang
membenarkan atau membatalkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepastian
hukum atas terjadinya perkawinan yang dipergunakan oleh negara. Hal ini
dilakukan untuk melindungi hak suami istri. Tanpa pencatatan negara tidak
mempunyai dokumen otentik, atas terjadinya perkawinan.
5. Istihsan:
yaitu memandang lebih baik, sesuai dengan tujuan syariat, untuk meninggalkan
ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh: Harta zakat tidak
boleh dipindah tangankan dengan cara dijual, diwariskan, atau dihibahkan.
Tetapi kalau tujuan perwakafan (tujuan syar’i) tidak mungkin tercapai, larangan
tersebut dapat diabaikan, untuk dipindah tangankan, atau dijual, diwariskan
atau dihibahkan. Contoh : Mewakafkan tanah untuk tujuan pendidikan Islam. Tanah
tersebut terkena pelebaran jalan, tanah tersebut dapat dipindahtangankan dengan
dijual, dibelikan tanah ditempat lain untuk pendidikan Islam yang menjadi
tujuan syariah diatas.
Akal dan Pikiran menurut Budha dan Islam
Pembahasan mengenai judul di atas akan kami awali dengan
pemaknaan dan uraian akal dan pikiran melalui Al-Qur’an. Hal ini kami lakukan
atas dasar pemahaman bahwa meskipun “timur” itu tidak berarti “islam” dan
“islam” itu sendiri juga bukan merupakan “timur”, namun fakta menunjukkan bahwa
para pemikir-pemikir yang berasal dari timur, khususnya yang berasal dari tanah
arab umumnya melandasi ataupun memulai kajian akal dan pikiran mereka
berbasiskan dengan apa-apa yang sudah termaktub di dalam Al-Qur’an.
Selain mengambil pemikiran para pemikir islam, uraian ini juga akan
mengangkat khasanah pemikiran Sidharta Budha Gautama. Ini tidak lepas dari
pengaruh pemikiran atau filsafat Budha yang sangat mashyur, khususnya di Benua Asia .
Demikian pengantar uraian singkat kami mengenai judul di atas. Sebenarnya
masih banyak tokoh-tokoh dari dunia timur yang layak diangkat di dalam tulisan
ini (baca: di luar Budha dan Islam). Namun mengingat kami berdua hanya fokus
dengan agama yang telah kami anut masing-masing maka tulisan ini hanya akan
menyajikan pemikiran yang berasal dari tokoh-tokoh dengan latar agama yang sama
dengan agama yang kami anut, yakni Budha (Soeprano Effendi) dan Islam (Wim
Permana).
1. Akal dan Pikiran dalam Al-Qur’an
Kata dan makna “akal” pada masa pra-islam.
Pada masa pra-islam, akal hanya berarti kecerdasan praktis yang
ditunjukkan seseorang dalam situasi yang berubah-ubah. Akal sangat berkaitan
dengan pemecahan masalah. Oleh karena itu, ia bersifat praktis. Tok! Seorang
‘aqli menurut tradisi arab pra-islam adalah dia yang memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah dan menemukan jalan keluar dalam situasi apa pun juga.
Kata dan makna “akal” pada masa pasca-islam (Al-Qur’an)
Dalam Al-Qur’an, kata akal (’aql) disebut 49 kali dalam 28 surah: 31 kali
dalam surah makkiyah (turun di Kota Mekkah) dan 18 kali dalam surah madaniyah
(turun di Kota Madinah).
Akal memiliki makna yang sangat padat dalam Al-Qur’an. Dalam
perbendaharaan kata umat islam, akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi.
Sehingga barang siapa yang sampai tidak memiliki akal akan dianggap tidak laik
untuk beribadah. Dari segi ibadah, ia sangat erat kaitannya dengan kesadaran.
Menurut Qurais Shihab, Al-Qur’an menggunakan kata itu untuk “sesuatu yang
mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa”.
Dengan menelusuri ayat yang menggunakan akar kata ‘aql, sesuatu dalam konteks
di atas dapat dimaknai:
1. Daya
untuk memahami sesuatu (QS Al-Ankabut [29]: 43)
2. Dorongan
moral (QS Al-An’am [6]: 151)
3.
Daya untuk mengambil pelajaran, hikmah, dan kesimpulan
(QS Al-Mulk [67]: 10).
Kata dan makna “pikiran” pada dalam Al-Qur’an
Kata “pikir” dan “pakar” dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Arab
fikr yang dalam Al-Qur’an menggunakan istilah fakkara dan tafakkarun. Kata fikr
menurut Quraish Shihab diambil dari kata fark yang dalam bentuk faraka dapat
berarti:
1. mengorek
sehingga apa yang dikorek itu muncul
2. menumbuk
sampai hancur, dan
3. menyikat
(pakaian) sehingga kotorannya hilang.
Baik kata fikr maupun kata fark memiliki makna yang serupa. Bedanya, fikr
digunakan untuk hal-hal yang konkret. Larangan berpikir tentang Tuhan adalah
sebuah contoh tentang objek fikr. Dari makna dasar fikr itu terkandung makna
yang sangat dalam menyangkut usaha serius, giat, dan tak kenal lelah untuk
mengelaborasi, atau bahkan mencari sampai pada bagian terdalam dari alam
semesta, sehingga dapat ditemukan hakikat alam semesta itu sendiri. Para ahli yang meneliti materi-materi terkecil dari
sesuatu sehingga didapatlah apa yang sekarang disebut atom, neutron, elektron,
proton, dan quark adalah beberapa contohnya.
Salah satu bentuk berfikir adalah tafakur. Kata ini memiliki makna yang
sangat mendalam. Salah satunya adalah bahwa tafakur merupakan cermin yang akan
memperlihatkan kepada seseorang perihal kebaikan dan keburukannya. Menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, tafakur merupakan kegiatan yang paling utama dan
bermanfaat.
2. Akal dan Pikiran dalam Filsafat Budha
Menurut ajaran Budha, “pikiran” -pikiran yang benar- termasuk ke dalam
Delapan Jalan Utama yang dapat membawa kita ke jalan menuju lenyapnya Dukkha
(Penderitaan). Menurut Budha, pikiran benar yang dimaksud tersebut adalah
pikiran yang terbebas dari nafsu-nafsu keduniawian, bebas dari kebencian, dan
bebas dari kekejaman.
3. Akal dan Pikiran dalam Filsafat Al-Farabi
Akal memiliki posisi yang sangat tinggi dalam pemikiran Al-Farabi. Filsuf
asal Turki yang terkenal dengan filsafat emanasi (Al-Faid: Pancaran) ini
menganggap bahwa Tuhan berhubungan dengan ciptaannya dengan perantara akal dan
malaikat.
4. Akal dan Pikiran dalam Filsafat Al-Kindi
Menurut Al-Kindi, satu-satunya filsuf berkebangsaan Arab dalam Islam, akal
memiliki posisi yang sangat penting dan tinggi dalam pencarian kebenaran. Bagi
Al-Kindi, akal termasuk salah satu alat yang dibutuhkan untuk mencari kebenaran
yang hakiki dalam kehidupan, di samping agama dan argumen-argumen rasional.
5. Akal dan Pikiran dalam Filsafat Ibnu Rusyd
Akal menurut Ibnu Rusyd merupakan sesuatu yang memiliki posisi yang sangat
tinggi. Seorang peneliti barat bernama Phillip K. Hitti pernah berujar bahwa
Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis, dan menyatakan berhak menundukkan segala
sesuatu kepada pertimbangan akal, kecuali dogma-dogma keimanan yang diwahyukan.
Tetapi ia bukanlah seorang free thinker (pemikir bebas) atau seorang yang tidak
beriman.
6. Akal dan Pikiran dalam Filsafat Dr. Haidar Bagir
Akal adalah rasul dalam diri manusia. Sementara Rasul adalah akal di luar
manusia. Begitu ucapan beliau dalam sebuah wawancara dengan kontributor JIL
(Jaringan Islam Liberal). Menurut beliau lagi, sesungguhnya wahyu yang dibawa
oleh para Rasul itu membawa kita ke satu titik yang akal juga bisa membawa
kepadanya. Fungsi wahyu adalah untuk mengisi tempat-tempat di mana agama
percaya itu berada di luar batasan manusia.
7. Akal dan Pikiran dalam Filsafat Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia hanya mempunyai satu daya, yaitu berfikir
yang disebut akal. Akal menurutnya lagi terbagi dua:
1. Akal
praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat
yang ada dalam jiwa binatang.
2. Akal
teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi
seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis
kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini dan
jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang
disebut akal itu. Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan
arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal
teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik.Akal
teoritis mempunyai empat tingkatan:
1. Akal
potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti
murni.
2. Akal
bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
3. Akal
aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
4. Akal
perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki filsuf-filsuf.
8.Akal dan Pikiran dalam Filsafat Al-Ghazali
Akal menurut Al-Ghazali bukanlah sesuatu yang sangat tinggi kedudukannya.
Menurut beliau, adalah al-dzauq dan ma’rifat sufilah yang justru akan membawa
seseorang kepada kebenaran yang meyakinkan. Pendapat ini beliau cantumkan dalam
kitabnya yang terus menjadi perdebatan hingga sekarang, yakni tahafut al
falasifah (kerancuan filsafat). Pemikiran Al-Ghazali ini, konon sangat
mempengaruhi dunia islam saat itu. Bahkan banyak juga para pengamat dunia islam
yang menganggap bahwa buku dan pengaruh Al-Ghazali inilah yang membuat islam
terpuruk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan sampai
hari ini.
9. Akal dan Pikiran dalam Filsafat Yusuf Al-Qardhawi
Akal adalah sesuatu yang sangat berharga dalam diri manusia. Kemunculan
kata akal dalam Al-Qur’an yang bersifat istifham inkari (pertanyaan retoris)
bermaksud untuk memotivasi, memberi semangat, dan mendorong manusia untuk
menggunakan akalnya.
10. Akal dan Pikiran dalam Filsafat Al-Asy’ari
1. Dalam
teologi Al-Asy’ari akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy’ari banyak
terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat
dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan filosofis.
2. Karena
akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai
anak yang belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak
bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini
mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada kada dan kadar
Tuhan. Manusia di sini bersikap statis.
3.
Pemikiran teologi al-Asy’ari bertitik tolak dari paham
kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak
mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam
dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian
bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi
biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.