kebijakan strategi pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen perencanaan lainnya
Paradigma baru perencanaan pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional8, terjadi perubahan paradigma perencanaan pembangunan daerah, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif,9 di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Setiap perencanaan pembangunan daerah selanjutnya harus ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), untuk periode satu tahun.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Berikut gambaran mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut.
1.      Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda, Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.
2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices pendidikan saat ini.
3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan kabupaten/kota.
4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah.
5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop).
6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang direncanakan.
Sebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah perencanaan dibuat dalam rangka mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program pendidikan.
1.    Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis, 2004).
Sementara, menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi Situasi dan kebijakan etik. Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara kebijakan substantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan substantif.
Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat dicapai secara efektif dan efisien.
2.2  Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan tersebut, perencana melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku pendidikan dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah, oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/ kota.
Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang menggunakan teknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam berbagai aspek bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi dan program-programnya, serta peta urutan pelaksanaannya
2.3 Program pendidikan
Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan.
2.4 Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional
a.        Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
b.        Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan pendidikan yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua warga negara dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh karena itu pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib berupaya untuk memenuhinya.
c.        Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan sumber daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan sebagai berikut.
Konsep output pendidikan biasanya diukur dengan prestasi belajar akademis. Di pandang dari sudut sistemnya itu sendiri, konsep ini menggambarkan seberapa jauh sistem pendidikan itu efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan tenaga kerja dalam hubungannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi lulusan disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih jauh lagi pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan biasanya meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja, fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan ”status attainment analytical model”, dan sebagainya.
Kebijakan pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses dan keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya, beasiswa untuk siswa miskin, pelatihan guru PLB, pembenahan SMP terbuka, perencanaan bagi daerah-daerah terpencil atau gender, peningkatan APK dan APM, peningkatan angka melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah, dan lain-lain.
b.    Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi jajaran dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor ini haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan sarana penunjang belajar lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Contoh perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio (siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan tes standar di tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan model pembelajaran (pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran kooperatif dan sebagainya).
c.    Efisiensi pendidikan;
Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal merujuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumber daya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain.
d.    Relevansi pendidikan.
Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya, program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia kerja.
d.       Pengembangan Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan (UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kesiapan kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan. Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-arahan, (2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol. Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup kemampuan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi), pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan/ dirangkum hal-hal sebagai berikut:
a.         Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah.
b.         Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan.
c.         Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota.
d.        Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat.
e.         Dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan atau ditargetkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated.
2.      Saran :
Depdiknas dan para stakeholders pendidikan lainnya, perlu membuat pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan (pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, dan lain-lain yang ditargetkan) secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berurutan, termasuk aspek sustainability (keberlanjutan) nya. Sekedar sebagai contoh, hasil peningkatan dan pencapaian pemerataan dan perluasan akses pendidikan, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan (dengan model peningkatan kualitas yang massive, misalnya), tapi juga perlu memperhatikan aspek relevansi (dengan, misalnya, mencocokkan kurikulum dengan empirik yang ada, dengan mengupdate silabus setiap tahun sekali, meski tanpa merubah kurikulum formalnya). Aspek keberlanjutannya perlu juga dipikirkan, jangan sampai berjalannya sebuah kebijakan hanya tergantung pada ada tidaknya subsidi dari pusat, sementara ketika subsidi ditiadakan atau dicabut, misalnya, lalu tidak berjalan.










DAFTAR PUSTAKA



Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan. Jurnal Studi Agama Millah,1, 55-69.
Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-218.
Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA,1,29-38.
Arbi Sanit. Et al. (Desember 2000). Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di Indonesia: Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.
Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.
Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES
Fakry Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober.
Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T Gramedia Widia Sarana Indonesia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS