BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan
antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen perencanaan lainnya
Paradigma baru perencanaan pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional8, terjadi perubahan paradigma perencanaan pembangunan daerah, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif,9 di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan
Paradigma baru perencanaan pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional8, terjadi perubahan paradigma perencanaan pembangunan daerah, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif,9 di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan
Pembangunan
(Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta
forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Setiap perencanaan pembangunan daerah
selanjutnya harus ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk
periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), untuk periode satu
tahun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Berikut
gambaran mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara
singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Melakukan analisis lingkungan strategis.
Lingkungan strategis adalah lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap
perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda, Renstrada, Repetada,
peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb), tingkat kemiskinan,
lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman
praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan lingkungan strategis harus
diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar
perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.
2. Melakukan analisis situasi untuk
mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang meliputi
profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi),
pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen dan sumber daya pada tingkat
kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices pendidikan saat ini.
3. Memformulasikan pendidikan yang
diharapkan di masa mendatang yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi,
dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan, mutu,
efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan kabupaten/kota.
4. Mencari kesenjangan antara butir
(2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pendidikan
keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun).
Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan kesempatan, mutu,
efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen pendidikan pada
tingkat kabupaten dan sekolah.
5. Berdasarkan hasil butir (4)
disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun (rencana strategis)
dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop).
6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang direncanakan.
6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang direncanakan.
Sebagaimana
sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah perencanaan
dibuat dalam rangka mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam kenyataan)
menuju ke ”situasi pendidikan yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk itu,
ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program
pendidikan.
1.
Kebijakan Pendidikan
Kebijakan
dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu ucapan
atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang
memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga
berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan
manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati
oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan
rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis,
2004).
Sementara,
menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan
(diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian,
kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang mengalokasikan
nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu
kebijakan regulatori, kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan
kapitalisasi Situasi dan kebijakan etik. Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90),
membedakan antara kebijakan substantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan
implementatif adalah penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan
substantif.
Sementara
itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1)
sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang
dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman,
pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan
keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk
bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik
harus memenuhi syarat sebagai berikut.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan
dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan
pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang
tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa
mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan
pendidikan nasional dapat dicapai secara efektif dan efisien.
2.2 Perencanaan Pendidikan
Perencanaan
pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang telah
ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan
pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan
tersebut, perencana melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan
menganalisis data-data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk
memperoleh informasi terkini dan yang bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan
rencana jangka panjang dan pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau
mencapai tujuan pendidikan kabupaten/kota.
Perencanaan
pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku pendidikan
dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan,
pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa
depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan
tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam
menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan
pendidikan yang baik di daerah, oleh karenanya, diharapkan akan dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari
diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/ kota.
Sebagai
dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang menggunakan
teknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,
kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh
organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam berbagai
aspek bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas
strategi dan program-programnya, serta peta urutan pelaksanaannya
2.3 Program pendidikan
Pada
intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam
rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan
pendidikan yang telah ditetapkan.
2.4 Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional
a.
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
b.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya
pelayanan pendidikan yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara
Indonesia. Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua
warga negara dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh karena itu
pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib berupaya untuk memenuhinya.
c.
Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai
konsep, indikator keberhasilan, dan sumber daya pendukung untuk kebijakan
pemerataan dan perluasan akses pendidikan sebagai berikut.
Konsep
output pendidikan biasanya diukur dengan prestasi belajar akademis. Di pandang
dari sudut sistemnya itu sendiri, konsep ini menggambarkan seberapa jauh sistem
pendidikan itu efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang terbatas, efektif dalam
mengisi kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan mampu melakukan kontrol
terhadap kemungkinan kelebihan tenaga kerja dalam hubungannya dengan jumlah
yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi lulusan disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih jauh lagi pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan biasanya meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja, fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan ”status attainment analytical model”, dan sebagainya.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi lulusan disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih jauh lagi pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan biasanya meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja, fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan ”status attainment analytical model”, dan sebagainya.
Kebijakan
pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses dan keadilan
atau kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya, beasiswa untuk
siswa miskin, pelatihan guru PLB, pembenahan SMP terbuka, perencanaan bagi
daerah-daerah terpencil atau gender, peningkatan APK dan APM, peningkatan angka
melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah, dan lain-lain.
b.
Kualitas pendidikan
Realitas
menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang
menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung,
yaitu internal dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi
jajaran dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan
sekolah yang berada di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada
umumnya. Dua faktor ini haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan
kualitas tersebut. Salah satu implikasi langsungnya ialah pada perlunya
program-program yang terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan
prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang
terjangkau masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan
sarana penunjang belajar lainnya.
Kualitas
pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan bahwa output
sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesiapan input. Contoh perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga
pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas
pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio
(siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan
bahan ajar, pengembangan tes standar di tingkat kabupaten/kota, biaya
pendidikan per siswa, pengembangan model pembelajaran (pembelajaran tuntas,
pembelajaran dengan melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran kooperatif
dan sebagainya).
c. Efisiensi pendidikan;
c. Efisiensi pendidikan;
Efisiensi
menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal.
Efisiensi internal merujuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian
prestasi belajar) dan input (sumber daya) yang digunakan untuk
memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada
hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan
kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah
kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan
efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio keluaran/masukan, angka
kenaikan kelas, penurunan angka mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan
angka kehadiran dan lain-lain.
d.
Relevansi pendidikan.
Relevansi
menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs), baik
kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang
meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi
misalnya, program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi
siswa-siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan
kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia kerja.
d. Pengembangan Kapasitas
Yang
dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit
organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan (UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat
ditentukan oleh tingkat kesiapan kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan
kemitraan. Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-arahan,
(2) bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol. Pengembangan kapasitas
kelembagaan mencakup kemampuan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan,
dan strategi, perencanaan pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan
(kurikulum, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi
manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi),
pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan organisasi (tugas
dan fungsi serta struktur organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam
organisasi, prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar
organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, pengembangan
kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan/ dirangkum hal-hal sebagai berikut:
a.
Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam
pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma
pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah.
b.
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka
sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi
daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan.
c.
Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada
proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota.
d.
Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan
Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan
daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana
perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan
masyarakat setempat.
e.
Dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan
pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi
Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat
kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam
melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan
analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang
berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu,
berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan
diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar
perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis
tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui ”situasi pendidikan
saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan atau ditargetkan” menyangkut
berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat
diketahui dan kebijakan substantif dan implementatif, program serta rencana
kegiatan dapat dipikirkan secara integrated.
2. Saran :
Depdiknas
dan para stakeholders pendidikan lainnya, perlu membuat pemikiran
inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang
terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan
pencapaian berbagai kebijakan pendidikan (pemerataan dan perluasan akses
pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, dan
lain-lain yang ditargetkan) secara bersama-sama, bukan secara parsial dan
berurutan, termasuk aspek sustainability (keberlanjutan) nya. Sekedar sebagai
contoh, hasil peningkatan dan pencapaian pemerataan dan perluasan akses
pendidikan, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan (dengan
model peningkatan kualitas yang massive, misalnya), tapi juga perlu
memperhatikan aspek relevansi (dengan, misalnya, mencocokkan kurikulum dengan
empirik yang ada, dengan mengupdate silabus setiap tahun sekali, meski tanpa
merubah kurikulum formalnya). Aspek keberlanjutannya perlu juga dipikirkan,
jangan sampai berjalannya sebuah kebijakan hanya tergantung pada ada tidaknya
subsidi dari pusat, sementara ketika subsidi ditiadakan atau dicabut, misalnya,
lalu tidak berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan. Jurnal Studi Agama Millah,1, 55-69.
Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar.
Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli
Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal
Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-218.
Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA,1,29-38.
Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA,1,29-38.
Arbi Sanit. Et al. (Desember 2000).
Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di Indonesia: Format otonomi
daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.
Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.
Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES
Fakry Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.
Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.
Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES
Fakry Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober.
Fasli Jalal. 2001. Reformasi
Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi
Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T Gramedia Widia Sarana
Indonesia.