otonomi daerah


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang Masalah
Otonomi Daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 membawa perubahan besar dalam pengelolaan pendidikan. Di era otonomi daerah, Pemda bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang di luar pendidikan tinggi (SD, SLTP, SLTA).
Dari sisi substansi, Pemda bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang terkait dengan sektor pendidikan (kecuali kurikulum dan penetapan standar yang menjadi kewenangan Pusat). Studi ini bertujuan untuk: (1) melihat perubahan yang terjadi dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah diberlakukannya otonomi daerah, (2) melihat perkembangan kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya, (3) melihat berbagai masalah yang muncul dalam pembiayaan pendidikan di era otonomi daerah, serta (4) merumuskan serangkaian rekomendasi guna mengatasi berbagai masalah yang muncul tersebut.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa: (1) pelimpahan keuangan dari Pusat ke Daerah dalam rangka pengelolaan sektor pendidikan baru sampai pada taraf pemenuhan kebutuhan rutin, khususnya gaji pegawai,(2) secara relatif, kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan tidak mengalami perbaikan dengan diberlakukannya otonomi daerah, bahkan tidak sedikit daerah yang justru mengalami penurunan, (3) masalah utama yang melatarbelakanhi persoalan pembiayaan pendidikan di era otonomi daerah adalah rendahnya akuntabilitas publik (public accountability), baik di level Pusat maupun di level daerah.
Berdasarkan temuan tersebut, paling tidak ada dua solusi yang ditawarkan oleh studi ini, yakni: (1) alokasi dana APBN untuk pembangunan sektor pendidikan sebaiknya dilakukan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK) sektor pendidikan, bukan melalui DIP departemen teknis (Depdiknas), serta (2) Pemda sebaiknya mempertimbangan implementasi sistem earmarking dalam pembiayaan sektor pendidikan di daerah.




BAB II
PEMBAHASAN


A.        Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan. Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun 2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa hal baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan, prasarana maupun sarana dan sumber daya lainnya belum siap.
Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal, bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan dinamika penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat.
B.     Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi. Pada saat sekarang ini banyak perusahaan atau organisasi yang memilih serta menerapkan sistem desentralisasi karena dapat memperbaiki serta meningkatkan efektifitas dan produktifitas suatu organisasi.
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
C.    Proses Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah
Otonomi daerah yang dilaksanakan dalam negara RepublikIndonesiatelah diatur kerangka landasannya dalam UUD 1945, antara lain :
1.                  Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi :
“NegaraIndonesiaadalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.
2.                  pasal 18 yang berbunyi :
“Pembangunan daerahIndonesiaatas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam merealisasikan amanat konstitusi, telah dihadirkan berbagai peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintah di daerah, antara lain :
1.                  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
2.                  Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
3.                  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
4.                  Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
5.                  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
Di samping terdapat Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dan No. 5 tahun 1960. pengalaman dalam melaksanakan berbagai ketentuan dimaksud menunjukkan berbagai masalah yang mempunyai dampak tersendiri, baik terhadap keutuhan negara kesatuan, stabilitas politik, keserasian hubungan pusat dan daerah maupun implikasi lain terhadap kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia.  Dengan ilustrasi ini, maka  baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman.
Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun 2003.  Pembangunan pendidikan di Indonesiasekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar, yakni; partama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat, efesiensi pendidikan.  Sacara umum strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah.
Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator  yang dapat menunjang faktor-faktor lain.  Artinya, pendidikan  sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan  yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan  yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan [accountasle] kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c] menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan,  [d] meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f] secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur [fleksibel] untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global.
Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia,  menilai bahwa kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti  Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, efesiensi pendidikan, dan  pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.
Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari pergumulan ideologi dan politik penguasa.  Problem-problem yang dihadapi seringkali berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis.  Maka, dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi sistem pendidikan nasional” [Suyanto,2006:x-xi]. Artinya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini,  “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat].  Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di sekolah”
Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional.  Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita [Suyanto, 2006:xi]. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan.
Otonomi yang didasarkan pada   UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita,  yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia
Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut, yaitu :  [1] perluasan dan pemerataan pendidikan. [2] meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, [3] melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, [4] memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, [5] dalam realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, [6] meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa
Beberapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan”
Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesiamenjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya siap benar menghadapi tantangan persaingan. Sementara, disatu sisi,   “bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun regional
Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalan. Seperti persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya.  Problem-problem pendidikan yang bersifat metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi “pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap tahunnya, pendidikan nasional kita memproduksi pengangguran terselubung. Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masing sedang merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau banyakan berharap akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
D.    Analisis Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Sistem Desentralisasi
Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni :
1.                  Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah,
2.                  Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
3.                  Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah,
4.                  pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan,
5.                  hubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan
6.                  pengembangan infrastruktur sosial.
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.
Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan ; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampailimabelas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan  Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat  harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
E.     Permasalahan dalam Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Ada6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dankota. 2) Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya  perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. (6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.
F.     Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Dunia Pendidikan
Otonomi  pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil  harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu
1)      Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan  disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning), c)  hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut Penelitian Simmons dan Alexander  (1980) bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan  secara bersama-sama; salah satu tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.
 2)      Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan   diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
 3)      Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala   pemerintahan daerah,kotadiberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah.
 4)      Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruhIndonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
 5)      Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat   tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Otonomi Daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 membawa perubahan besar dalam pengelolaan pendidikan. Di era otonomi daerah, Pemda bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang di luar pendidikan tinggi (SD, SLTP, SLTA).
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
Otonomi daerah yang dilaksanakan dalam negara RepublikIndonesiatelah diatur kerangka landasannya dalam UUD 1945, kemudian telah melalui tahapan beberapa proses.
Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni :
1.                  Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah,
2.                  Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
3.                  Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah,
4.                  pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan,
5.                  hubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan
6.                  pengembangan infrastruktur sosial.
Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu
7)      Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah
8)      Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
9)      Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
10)  Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
11)  Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah



DAFTAR PUSTAKA


Busroh, Abu Daud. Capita Selekta Hukum Tata Negara, Jakarta : Rineka Cipta, 1994
 Sanaky, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta : Safiria Insania dan MSI, 2003), hlm. 146
Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta : Sinar Grafika, 2006
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global], Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2006
Widjaja, H.A.W. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 1998
Dampak negatif otonomi daerah dan peran dephan dalam pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan Negara ; Suatu Tinjauan Analisis Makro Tentang Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Alam Oleh: Kolonel Cpl Umar S. Tarmansyah Puslitbang Ind Balitbang Dephan



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS