munakahat


A. MUNAKAHAT
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
A.      Islam Menganjurkan Nikah
B.  Islam Tidak Menyukai Membujang
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN
1.       Pacaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.
 2. Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)
2.       Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).
3.       Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).
4.       Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”. ‘Aqil menjelaskan : “Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah :
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”
5.       Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
6.       Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum : 21). Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).
“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74).

B. HUKUM WARIS
Hukum Waris Wanita Menurut Islam dan Kristen
Menurut agama Islam, anak lelaki mewarisi dua kali lipat di banding anak perempuan, yang di maksud adalah: Satu orang anak lelaki mendapat dua kali lebih banyak di banding apa yan anak perempuan dapat. Memprihatinkan bahwa agama Islam adalah agama yang paling salah dimengerti di dunia, dan undang-undang warisan di agama Islam ini adalah hanya contoh kecil dari banyak kasus yang perlu dijernihkan. Oleh sebab itu orang akan menyadari kebijaksanaan dan keadilan nyata dalam agama Islam dan mulai menghargainya dan menghormatinya.
Saudara/i ku umat Muslim yang dirahmati Allah, atau rekan-rekan Kristiani, menurut agama Islam, adalah tanggung jawab seorang pria untuk menyediakan kebutuhan finansial kepada istri, anak, orang-tua (kalau mereka masih ada), dan saudara perempuan saya (jika mereka menjadi janda).
Dan jika saya menolak untuk menyokong saudari perempuan saya yang janda, kemudia jika dia memutuskan membawa saya ke pengadilan dan menuntut saya, dan membuktikan bahwa saya mempunyai cukup uang untuk menopang kebutuhan financial istri saya, anak dan saudari perempuan saya yang janda, maka pengadilan akan memaksa saya untuk menyantuni hidupnya selama satu bulan dibayar. Undang-undang ini di agama Islam dianggap undang-undang “Nafaqa”.
Isteri di dalam agama Islam tidak di wajibkan untuk membiayai keluarganya walau hanya sesenpun, dan si suami pun tidak berhak meminta darinya sesenpun untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Sebenarnya, ini hanya untuk menunjukkan kepada kalian betapa hormat dan adilnya Islam terhadap kaum wanita ialah seorang isteri berhak meminta kepada suaminya untuk membiayai pangan, sandang dan papan bagi keluarganya.
Selanjutnya, menurut syariah Islam, suami tidak mempunyai hak untuk memaksa istrinya bekerja jika si istri tidak berkenan. Namun itu tanggung jawab pokok laki-laki untuk menyokong keluarganya secara finansial, dan bukan tanggung jawab wanita. Juga, di agama Islam, istri mempunyai seluruh hak untuk meminta suaminya membayari pendidikannya jika dia menginginkan untuk pergi belajar.
Wanita di agama Islam mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan, dan adalah tanggung jawab orang-tua mereka (jika wanita tersebut belum menikah), atau tanggung jawab suami mereka untuk membayari pendidikan mereka.
Hukum Waris menurut Alkitab:
Mari kita melihat 8 Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada anaknya yang perempuan.” (Bilangan 27:8)
Oleh sebab itu di kata lain, wanita (anak perempuan, saudara perempuan dan ibu) tidak mewarisi apa saja jika seorang laki-laki (anak lelaki) hadir. Yang berikut ini email yang dikirim kepada saya oleh saudara Yishan Jufu:
Hukum Waris Bagi Wanita
Salah satu perbedaan yang paling penting di antara Quran dan Alkitab adalah sikap mereka ke pada masalah warisan kaum wanita yang ditinggal oleh ayahnya.Menurut Bilangan 27:1-11, janda dan saudara perempuan tidak mewarisi apapun.
Anak perempuan bisa mewarisi hanya jika bapak almarhum mereka tidak mempunyai anak lelaki.Lain dengan anak lelaki, mereka menerima warisan seluruhnya. Di antara orang Arab penyembah berhala pra Islam, hak-hak warisan dibatasi secara eksklusif kepada keluarga pria. Al Quran menghapuskan semua adat-istiadat yang tak adil ini dan memberikan kepada kaum wanita bagian mereka (4:7,11,12,176).
Cukup nyata bahwa agama Islam jauh menghormati wanita pada kasus warisan dari pada Alkitab. Alkitab bahkan sama sekali tidak mengakui keberadaan wanita apabila seorang anak lelaki ada (hadir). Anak lelaki mendapat seluruh warisan menurut Alkitab.
Di agama Islam, dengan kata lain, anak perempuan mendapat setengah bagian dari yan anak lelaki dapat, karena di bawah undang-undang “Nafaqa“, anak lelaki bertanggung jawab terhadap (1) Istri dan Anaknya; (2) Orang-tua Tuanya; (3) Saudari Perempuannya yang menjanda.
Dan lagi dalam agama Islam, istri tidak mesti menyediakan bantuan keuangan apa pun kepada keluarganya. Karena hal tersebut adalah kewajiban laki-laki. Oleh sebab itu, sangat adil bagi laki-laki mendapat bagian sepadan dengan dua orang wanita dalam hukum waris di agama Islam.
Apakah anda tidak akan setuju dengan saya bahwa jika tanggung jawab laki-laki menyokong orang-tuanya (kalau mereka jadi tua), istri, anak, dan saudara perempuan janda, Oleh karenanya hal tersebut masuk akal jika bagian anak lelaki lebih besar daripada anak perempuan.

C. Hukum Islam dalam Perspektif Konstitusi

Eksistensi Islam dan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia
Membahas mengenai kehidupan beragama dalam perspektif konstitusi dapat dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib untuk memeluk dan menjalankan agama, termasuk Agama Islam. Hal ini menjadi suatu konsekuensi bagi pemeluk agama yang bersangkutan wajib menjalankan syariat agama. Apabila seseorang beragama Islam atau menyatakan diri beragama Islam, maka dia harus tunduk pada aturan Islam,[17] bukan justru dia hanya mengaku beragama Islam tanpa melaksanakan kewajibannya sebagai umat Islam dengan sungguh-sungguh.[18] Pengertian hak beragama hanya mengenai hak untuk menjalankan salah satu agama yang berlaku di Indonesia. Sehingga dalam tataran implementasi mengenai kehidupan beragama perlu adanya aktualisasi mengenai nilai-nilai kebebasan yang ada[19] untuk memberikan pencerahan makna yang terkandung di dalam UUD 1945.
Penekanan kewajiban untuk menjalankan agama yang diyakini (dalam hal ini adalah Islam) dbuktikan dengan menjalankan Rukun Islam dan Rukun Iman. Sehingga apabila prinsip beragama dalam perspektif konstitusi diartikan secara seimbang antara hak dan kewajiban,[20] maka akan mudah bisa mewujudkan ketertiban hukum, kehidupan yang saling toleransi, dan ketentraman.
Selanjutnya mengenai Islam dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional UUD 1945 memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk Agama Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam. Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al Ihlas pada ayat (1) yaitu قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ” ” yang berarti “katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Lebih lanjut pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.[21] Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yan tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan sifat bangsa kita yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.[22]
Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.
Prinsip-prinsip Hukum Islam yang dijadikan landasan ideal fiqih sebagimana dikatakan oleh Juhaya S. Pradja yaitu:[23]
  1. Prinsip tauhidullah,
  2. Prinsip insaniyah,
  3. Prinsip tasamuh,
  4. Prinsip ta’awun,
  5. Prinsip silaturahim bain annas,
  6. Prinsip keadilan, dan
  7. Prinsip kemaslahatan.
Selanjutnya menurut Muhammad Thahir Azhary, Agama Islam dalam sistem hukum nasional terdapat berbagai relevansi hukum, baik dalam bentuk konsep maupun praktik hukum yang ada, yaitu sebagai berikut:
  1. prinsip permusyawaratan, di dalam Alquran terdapat dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar nomokrasi (negar hukum) yang mempunyai relevansi dengan hukum di Indonesia, yaitu terdapat pada Q.S. Al Syura ayat (38),وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ . ayat ini menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum, Nabi selaku mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Selanjutnya dijelaskan pula dalam Q.S. Ali Imran ayat (159), yaitu; “وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ” yang berarti “dan bermusyawarahlah engkau dalam setiap setiap urusan”. Ketentuan dalan surat tersebut mempunyai relevansi dengan sila keempat pada  Pancasila yang menyangkut mengenai permusyawaratan.
  2. prinsip keadilan, prinsip keadilan merupakan prinsip ketiga dalam hukum Islam. Perkataan adil (al ‘adl, al qisth, dan al mizan) menempati urutan ketiga yang paling banyak disebut di dalam Alquran setelah kata “Allah” dan “ilmu pengetahuan”. Sehingga disimpulkan bahwas Islam mengajarkan manusia di duia untuk selalu berbuat adil[24] dengan mengedepankan integritas yang tinggi. Lebih lanjut isebutkan dalam Q.S. Annisa’ ayat (135) berbunyi “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ” yang berarti “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan kerabatmu”.[25] Secara konstitusional konsep dan prinsip keadilan dapat ditemukan pada sila ke lima pada Pancasila, yang menjadi landasan dasar dari tujuan dan cita-cita-cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai landasan filosofis negara (filosofische grondslag).
  3. Prinsip persamaan atau kesetaraan[26] dan hak asasi manusia, prinsip persamaan dalam hukum Islam mencakup persamaan dalam segala bidang termasuk di bidang politik, hukum dan sosial. Perdamaan di bidang hukum memberikan jaminan akan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama[27] terhadap semua orang tanpa memandang kedudukan asalnya (original position). Prinsip persamaan, termasuk prinsip kebabasan yang sama tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and fredoms of citizens). Berkaitan dengan hak kesetaraan hukum antara pria dan wanita (gender) dapat ditemukan pada Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1) UUD 1945 Pasca amandemen.[28] Dalam Q.S. Al Baqarah ayat (228) disebutkan “وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَ‌ٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا . وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ” yaitu para perempuan mempunyai hak yang setara dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.
  4. Prisip peradilan yang bebas, yaitu peradilan yang berguna memberikan keadilan bagi para pencari keadilan (justiciabelen)[29]. Justice Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus kebebasan dari segala macam bentuk pressure (tekanan) dan campur tangan kekuasaan eksekutif. Bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusan pada seseorang penguasa apabila ia melaggar hak-hak rakyat.[30] Prinsip peradilan yang bebas dijelaskan dalam Q.S. An nisaa ayat (58) yang berbunyi “وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ” yang berarti “Bila kamu menetapkan hukum di antara manusia maka hendaklah kamu tetapkan dengan adil”. Dalam bidang justisial, secara normatif mewajibkan tercantum kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[31] pada setiap putusan hakim. Di samping itu, mengenai peradilan terdapat pengakuan eksistensi terhadap Peradilan Agama sebagai peradilan yang independen.[32] Peradilan agama merupakan peradilan bagi orang-orang Islam dengan kewenangan memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata antara orang Islam.[33]
  5. Prinsip kesejahteraan, dalam prinsip ini ada motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan yaitu doktrin Islam “hablun min Alah wa hablun min annas”, yaitu aspek ibadah dan aspek mu’amalah. Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat.[34]
Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif UUD 1945
Dalam membahas hubungan antara negara dengan Agana Islam tersebut kiranya layak dipertimbangkan beberapa pemikiran dari kalangan intelektual Islam. Teori-teori yang dikembangkan oleh kalangan intelektual Islam kodern mengenai hubungan antara agama dengan negara yaitu: antara agama dan negara tidak perlu dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi.[35]
Berdasarkan pengalaman sejarah Negara Indonesia dalam rangka mengimplementasikan UUD 1945 dalam hubungannya dengan kehidupan keagamaan, maka muncul respons-respons negatif terhadap UUD 1945, terutama pada Pancasila dalam hubungan negara dan agama dari kalangan politik Islam. Apapun alasan yang dikemukakan tidak didasarkan pada tealitas objektif, tetapi yang jelas ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan adanya suatu kekacauan pengetahuan (epistemology mistake) akan Pancasila dan kekerdilan pemikiran anak bangsa tentang filsafat dan kepribadiannya sendiri.[36]
Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme da imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraandi antara komponen bangsa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan tersebut, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai ketuhanan Yang Maha Esa.[37]
Prinsip ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa manusia merupakan ciptaan tuhan yang dilahirkan untuk mengembn tugassebagai khalifah di bumi dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segeap makhluk hidup, serta untuk menjaga kesiambungan alam itu sendiri.[38]
Prinsip ketuhanan juga berarti bahwa tindakan setiap manusia termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.  Di samping itu penataan hubungan antara agama dan negara harus  dibangun atas dasar simbiosis mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling melengkapi. Dalam konteks ini agama memberikan kerohanian yang dalam sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.[39]
Selanjutnya dalam toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia dijamin oleh konstitusi negara, yaitu Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2). Berkaitan toleransi dalam kehidupan umat beragama di negeri ini nampaknya the founding parents senada dengan Piangam Madinah Pasal 25 dan Paal 37, bahwa umat muslim hidup secara dama dengan umat agama lainnya dan menciptakan perdamaian (mu’ahad).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS