Akulturasi
Budaya Cina Perantauan di
Indonesia
Wayang potehi
Kesenian ini mirip wayang golek (wayang kayu), namun cerita yang ditampilkan berasal dari legenda rakyat tiongkok, seperti Sampek Engthay, Sih Djienkoei, Capsha Thaypoo, Sungokong, dll
Kesenian ini mirip wayang golek (wayang kayu), namun cerita yang ditampilkan berasal dari legenda rakyat tiongkok, seperti Sampek Engthay, Sih Djienkoei, Capsha Thaypoo, Sungokong, dll
bacang
Dahulu bacang diyakini orangChina
adalah makanan untuk menghormati seorang pahlawan yang mati akibat difitnah
orang bentuk peringatan adalah makan bakcang (Hanzi: 肉粽, hanyu pinyin: rouzong)
Penganan ini terdiri dari daging cacah sebagai isi dari beras ketan dibungkus
daun bambu dan diikat tali bambu. Di beberapa tempat Indonesia ,diadakan festival
memperingati sembahyang bacang atau disebut juga Duan Wuji.
Festival ini disebut pehcun. Atraksi yang menjadi maskot festival ini adalah perlombaan balap perahu naga.Duanwu Jie (Hanzi: 端午節) atau yang dikenal dengan sebutan festival Peh Cun di kalangan Tionghoa-Indonesia adalah salah satu festival penting dalam kebudayaan dan sejarah Tiongkok. Peh Cun adalah dialek Hokkian untuk kata pachuan (Hanzi: 扒船, bahasa Indonesia: mendayung perahu). Walaupun perlombaan perahu naga bukan lagi praktek umum di kalangan Tionghoa-Indonesia, namun istilah Peh Cun tetap digunakan untuk menyebut festival ini.
Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek dan telah berumur lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou.Dan perlombaan dayung perahu naga. Karena dirayakan secara luas di seluruh Tiongkok, maka dalam bentuk kegiatan dalam perayaannya juga berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya. Namun persamaannya masih lebih besar daripada perbedaannya dalam perayaan tersebut.
Kiasu
Kiasu adalah ejaan Hokkien (fujianese) untuk Bhashu / pasu. Jargon ini sangat sering didengungkan di Singapura.
Istilah ini mengandung arti (kira-kira) suatu ketakutan akan tertinggal karena kurang menguasai ilmu.
Dahulu bacang diyakini orang
Festival ini disebut pehcun. Atraksi yang menjadi maskot festival ini adalah perlombaan balap perahu naga.Duanwu Jie (Hanzi: 端午節) atau yang dikenal dengan sebutan festival Peh Cun di kalangan Tionghoa-Indonesia adalah salah satu festival penting dalam kebudayaan dan sejarah Tiongkok. Peh Cun adalah dialek Hokkian untuk kata pachuan (Hanzi: 扒船, bahasa Indonesia: mendayung perahu). Walaupun perlombaan perahu naga bukan lagi praktek umum di kalangan Tionghoa-Indonesia, namun istilah Peh Cun tetap digunakan untuk menyebut festival ini.
Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek dan telah berumur lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou.Dan perlombaan dayung perahu naga. Karena dirayakan secara luas di seluruh Tiongkok, maka dalam bentuk kegiatan dalam perayaannya juga berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya. Namun persamaannya masih lebih besar daripada perbedaannya dalam perayaan tersebut.
Kiasu
Kiasu adalah ejaan Hokkien (fujianese) untuk Bhashu / pasu. Jargon ini sangat sering didengungkan di Singapura.
Istilah ini mengandung arti (kira-kira) suatu ketakutan akan tertinggal karena kurang menguasai ilmu.
Ai Pia Cia E Ya 爱拼才会赢
爱拼才会赢 atau dalam mandarin = Ai Pin Cai Hui Ying Adalah "Lagu kebangsaan" suku Hokkien di seluruh dunia. Isi lirik lagu dariTaiwan ini
mencerminkan etos kerja dan spirit berusaha yang sangat tinggi dari suku ini.
Sebagaimana umumnya lagu-lagu Hokkien lainnya, lagu ini sangat menjiwai,
bukankah arti judulnya saja "Cinta (suka) berjuang baru bisa menang"
Budaya Cina Peranakan Banyak budaya, aksen maupun produk tionghoa yang bukan berasal dari negeri cina daratan, namun merupakan produk setempat yang dinamai istilah cina. Kalau di Malaysia, kita kenal ikan Louhan yang bukan dari Cina, tapi "penemuan" peternak ikan China dari Malaysia, di Indonesia kita mengenal "lontong capgomeh" yang tidak ada di negeri cina, maupun wingko babat yang berasal dari kota Babat di Jawa Timur.
爱拼才会赢 atau dalam mandarin = Ai Pin Cai Hui Ying Adalah "Lagu kebangsaan" suku Hokkien di seluruh dunia. Isi lirik lagu dari
Budaya Cina Peranakan Banyak budaya, aksen maupun produk tionghoa yang bukan berasal dari negeri cina daratan, namun merupakan produk setempat yang dinamai istilah cina. Kalau di Malaysia, kita kenal ikan Louhan yang bukan dari Cina, tapi "penemuan" peternak ikan China dari Malaysia, di Indonesia kita mengenal "lontong capgomeh" yang tidak ada di negeri cina, maupun wingko babat yang berasal dari kota Babat di Jawa Timur.
Budaya blasteran Cina-Indonesia
Tak hanya etnik saja yang sudah berasimilasi, aspek lain juga ikut berasimilasi: Makanan
Contoh: Lunpiasemarang , isi utamanya adalah
irisan kulit rebung sedangkan lunpia yang dari China isi utamanya mihun.
Tak hanya etnik saja yang sudah berasimilasi, aspek lain juga ikut berasimilasi: Makanan
Contoh: Lunpia
ASIMILASI
Perkawinan melayu dg India :
(persandingan), cina (acara potong bolu kek),= melayu (akad nikah)
Tionghoa+indonesia
Pengertian asimilasi adalah proses
perubahan budaya antara dua masyarakat atau lebih secara perlahan dan lama
sekali.
Perubahan tersebut dapat terjadi pada satu pihak maupun pada kedua belah pihak.
Berapa banyak yang ditiru atau diambil dari kebudayaan pihak lain di dalam
kebudayaan sendiri masing-masing tersebut tidaklah sama dan tidak diketahui
unsur yang mana yang berperan.
Persilangan budaya ini diantaranya dapat dilihat
pada penggunaan bahasa, selera makan, tata nilai, keyakinan religious, ilmu
pengatahuan, keterampilan, dan sebagainya yang diperoleh dari cara seseorang
melihat, memperhatikan, meniru atau belajar dari orang lain. Hal tersebut dapat
disebut juga sebagai kebudayaan.
Penggunaan
Bahasa (terutama dipengaruhi oleh adanya Westernisasi)
Pada awal hingga menjelang akhir abad ke-19,
orang-orang Tionghoa peranakan-terutama mereka yang tinggal di kota-kota
kecil-berbahasa daerah di rumahnya. Pada akhir abad ke-19, di kota-kota besar,
bahasa Melayu Tionghoa mulai lebih banyak digunakan.
Bahasa Melayu mendesak keberadaan bahasa local, terutama di kota-kota dan di
kalangan peranakan. Bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar penduduk, yang juga
dipakai oleh kalangan berkuasa. Masyarakat Tionghoa yang tinggal di kota memandang bahwa bahasa
Melayu lebih halus dan lebih baik dibanding bahasa daerah. Hal ini kemudian
yang menyebabkan sedikitnya penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan
sehari-hari oleh masyarakat Tionghoa peranakan yang tinggal di kota .
Bahasa Tionghoa sendiri tampaknya tidak berkembang,
dan tidak pernah dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Tionghoa
peranakan. Hal tersebut dikarenakan mayarakat Tionghoa peranakan tidak bisa
berbahasa Tionghoa dan juga hampir sama sekali tidak dapat menulis aksara
Tionghoa.
Pada perkembangannya, pemakaian bahasa Melayu ini
lambat laun mulai tergeser dengan pemakaian bahasa Belanda di kota-kota dan
mulai meluas di kalangan orang Timur Asing (Tionghoa dan Cina) dan Bumiputera.
Hal tersebut terutama mulai terlihat ketika anak-anak Tionghoa mulai bersekolah
di sekolah Belanda.
Awalnya, penggunaan bahasa Belanda oleh penduduk
bukan belanda dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda, dan dianggap sebagai
suatu tindakan yang kurang ajar. Tetapi seiring perkembangannya, pemerintah
Hindia Belanda kemudian mulai mengijinkan penggunaan bahasa Belanda oleh orang
Timur Asing dan Bumiputera, dan tidak lagi dianggap sebagai kurang ajar.
Kemudian berkembang pemikiran bahwa mengenal bahasa Belanda adalah syarat untuk
menempati kedudukan sosial yang baik.
Perubahan
nama-nama golongan peranakan (membelandakan nama-nama Tionghoa yang dipengaruhi
oleh proses westernisasi)
Pada saat penggunaan bahasa Melayu dianggap sebagai
bahasa yang mempunyai nilai lebih tinggi kedudukan sosialnya dibandingkan
bahasa daerah, hal tersebut berdampak pada penggunaan nama-nama masyarakat
Tionghoa yang dimelayukan. Banyak gadis peranakan pada kira-kira awal
pertengahan abad ke-19 diberi nama, umpamanya, “The Soeboer Nio”, Tan Manis
Nio, Han Bersih Nio dan lain-lain.
Lain halnya pada saat penggunaan bahasa Belanda
telah menggeser penggunaan bahasa Melayu. Gadis-gadis peranakan tidak lagi
diberi nama-nama seperti “The Soeboer Nio” atau “Tan Manis Nio”,
melainkan nama-nama seperti The Mien Nio (dari nama Belanda Mientje), Tan Marie
Nio, Han Lies Nio (dari nama Belanda Elisabeth yang disingkat Lies) dan
lain-lain. Pengaruh Belanda yang lain ialah dalam penggunaan beberapa nama
seperti Mien, Marie dan lain-lain di awal nama Tionghoa. Tidak jarang nama
Belanda (Kristen) digunakan sebagai nama kecil, seperti Willem Liem, Karel Tan
dan lain-lain.
Penulisan nama masyarakat Tionghoa secara Belanda
tidak hanya Nampak dalam ejaan nama-nama Belanda, tetapi juga dalam hal
penulisan nama (disingkat). Diantaranya, The Bian Tik menjadi BT The dan Han
Goan Tjing menjadi GT Han.
Kebiasaan-kebiasaan
Jawa
Kebiasaan asli Tionghoa dalam beberapa hal tidak
pernah dipakai oleh Tionghoa peranakan. Beberapa diantaranya yakni kebiasaan
“mengikat kaki” yang menyebabkan kaki perempuan Tionghoa menjadi sangat kecil;
Kebiasaan perempuan Tionghoa peranakan pada abad ke-19 untuk mengikir dan
menghitamkan gigi para anak gadisnya adalah kebiasaan yang diambil 100% dari
gadis-gadis Jawa; para perempuan peranakan Tionghoa di Jawa mempunyai lebih
banyak kebebasan dibanding dengan para perempuan Tionghoa di Tiongkok
Budaya
Banyak diantara orang-orang Tionghoa yang muslim
dan memakai nama pribumi, menunjukkan adanya suatu kecenderungan atas
meleburnya orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi. Pada masa colonial,
masyarakat Tionghoa umumnya lebih banyak yang masuk agama Islam dibanding agama Kristen. Salah satu
pertanda (cirri) orang Tionghoa masuk Islam ialah dengan mencukur kuncirnya. Hal
inilah yang kemudian menyebabkan orang-orang Belanda menamakan orang Tionghoa
Muslim dengan istilah Geschoren Chnees (orang Tionghoa yang dicukur).
Makanan
Kesimpulan
Masyarakat di Nusantara terbagi dalam 2 (dua)
golongan masyarakat, yakni golongan Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan.
Tionghoa peranakan ialah keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Nusantara,
sedangkan Tionghoa totok ini sendiri ialah mereka yang lahir di Tiongkok dan
masih merupakan 100% Tionghoa.
Proses persilangan budaya masyarakat Tinghoa pada
masa colonial, cenderung dialami oleh masyarakat Tionghoa peranakan. Hal ini
tampak pada kehidupan sehari-hari mereka, dimana saat mereka masih berada di
dalam rumah, bahasa yang dipakai dalam kesehariannya ialah bahasa Melayu, Jawa,
Sunda. Umumnya atau kebanyakan dari masyarakat Tionghoa peranakan tidak mampu
berbahasa Tionghoa.
Adat-istiadat orang-orang Tionghoa peranakan tidak
100% Tionghoa. Hal ini disebabkan oleh mereka telah mengambil adat-istiadat
penduduk pribumi setempat. Tampak pada atau dalam hal perkawinan, Tionghoa
peranakan mempunyai kebiasaan matrilokaal, seperti halnya penduduk
pribumi setempat. Sebuah kebiasaan yang tidak mungkin ada dalam tradisi
masyarakat Tionghoa totok di Tiongkok, yang hanya mengenal system patrilokaal
(100% patrilokaal).
Akulturasi budaya
antara masyarakat Tionghoa peranakan dengan penduduk pribumi, juga tampak pada
kebudayaan Tionghoa peranakan yang mempunyai “aroma” (unsur) Jawa.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku “Riwayat
Tionghoa Peranakan Di Jawa”, karangan Onghokham, bahwa hal tersebut dapat
dimengerti karena seseorang tidak dapat memegang teguh kebudayaannya, kalau
dirinya tidak hidup dikalangan budaya tersebut. Contoh kebudayaan masyarakat
Tionghoa peranakan yang mempunyai aroma Jawa diantaranya ialah mereka cenderung
menyukai gamelan, bahkan sebagian besar diantara mereka (kalangan Tionghoa
peranakan) mampu menarikan berbagai tarian Jawa.