BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan yang bermutu sangat
tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan
peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek
olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan,
guru dan dosen merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha
meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya
investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran
guru dan dosen yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat
dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan [UU No.14Thn 2005:2]
Pendapat akhir pemerintah atas
Rancangan UU tentang guru dan dosen yang disampaikan pada rapat paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, cukup menjanjikan kualitas pendidikan
Indonesia dengan guru-guru yang profesional, memiliki kompetensi dan
disertfikasi sebagai jabatan profesi guru. Tetapi, konsep dan Undang Undang,
berbicara pada dataran edial, tetapi realitas pendidikan yang dihadapi saat ini
berbicara lain. Katakan saja, berita dari dunia pendidikan yang menggetarkan
para pengguna pendidikan: Pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta
guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Katakan
saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar disekolah.
Dari sini kemudian diklarifikasi
lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505,
terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962
guru SMK. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian
yang dipunyainya atau budangnya [Kompas, 9/12/2005]. Dengan kondisi, berapa
banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa
banyak yang dirugikan? [Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006]. Keempat,
fakta lain, menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai.
Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap
belum layak untuk mengajar di jenjang masing- masing. Selain itu 17.2% guru
atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM guru
kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita
berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index
suarakita. Apabila data ini valid, maka cukup mencengankan kita yang bergelut
dalam dunia pendidikan selama ini.
Pekerjaan mengajar telah ditekuni
orang sejak lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan
masyarakat. Tetapi, data dan kondisi di atas, cukup memprihatikan kita. Mungkin
kita bertanya, apa yang diperbuat selama ini dalam dunia pendidikan kita?
Padahal, setiap ganti mentri, mesti ganti kebijakan dalam dunia pendidikan,
tetapi kondisi dan realitas tenaga guru yang disebutkan di atas adalah
merupakan suatu berita yang mencengangkan dan bencana untuk dunia pendidikan.
Mungkinkah guru dapat menjadi profesional? Harus disadari kondisi guru seperti
pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama.
Kondisi di atas membuat kita
bertanya, apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem rekruiting guru. Siapakah
mereka itu? Apakah mereka adalah para calon guru atau mereka-mereka yang sedang
belajar untuk menjadi guru. Apakah mereka itu sejak semula bercita-cita menjadi
guru ataukah lantaran tidak dapat masuk ke fakultas yang dicita-citakan, lantas
memaksa diri untuk menjadi guru yang tidak sesuai dengan pilihannya? Apakah
kegagalan mereka untuk memasuki fakultas nonkeguruan merupakan indikasi bahwa mereka
tidak mempunyai kemampuan yang mencukupi? Apabila demikian, apakah mereka dapat
dikatakan terdampar menjadi guru? Ini adalah persoalan serius yang
dihadapi untuk mewujudkan kompetensi, sertifikasi dan profesionalisme guru. Bukankah hampir tidak pernah terdengar tentang sebuah ciri-cita untuk menjadi guru, sekalipun dari anak guru? Apakah ini semua, ada korelasinya dengan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme para guru?
dihadapi untuk mewujudkan kompetensi, sertifikasi dan profesionalisme guru. Bukankah hampir tidak pernah terdengar tentang sebuah ciri-cita untuk menjadi guru, sekalipun dari anak guru? Apakah ini semua, ada korelasinya dengan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme para guru?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang
dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise),
menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian
diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan
kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ciri-ciri profesi, yaitu adanya:
1. standar unjuk kerja;
2. lembaga pendidikan khusus untuk menghasilkan pelaku
profesi tersebut dengan standar kualitas akademik yang bertanggung jawab;
3. organisasi profesi;
4. etika dan kode etik profesi;
5. sistem imbalan;
6. pengakuan masyarakat.
2.2 Guru
sebagai Profesi
Guru adalah sebuah profesi,
sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut
keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di lakukan
oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu
profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian
berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan
keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya
terletak profesionalisme.
Senada dengan itu, secara implisit, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah : tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (pasal 39 ayat 1).
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Dedi Supriadi (1999), profesi kependidikan dan/atau keguruan dapat disebut sebagai profesi yang sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua (old profession) seperti: kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Selama ini, di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai kebutuhan/kekosongan/kekurangan guru mata pelajaran di sekolah itu, cukup dengan “surat tugas” dari kepala sekolah.
Senada dengan itu, secara implisit, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah : tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (pasal 39 ayat 1).
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Dedi Supriadi (1999), profesi kependidikan dan/atau keguruan dapat disebut sebagai profesi yang sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua (old profession) seperti: kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Selama ini, di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai kebutuhan/kekosongan/kekurangan guru mata pelajaran di sekolah itu, cukup dengan “surat tugas” dari kepala sekolah.
Hal inilah yang merupakan salah satu
penyebab lemahnya profesi guru di Indonesia. Adapun kelemahan-kelemahan lainnya
yang terdapat dalam profesi keguruan di Indonesia, antara lain berupa: (1)
Masih rendahnya kualifikasi pendidikan guru dan tenaga kependidikan; (2) Sistem
pendidikan dan tenaga kependidikan yang belum terpadu; (3) Organisasi profesi
yang rapuh; serta (4) Sistem imbalan dan penghargaan yang kurang memadai.
2.3 Kompetensi guru profesional
A. Proses Belajar Mengajar
Seiring dengan banyaknya keluhan
dari siswa menyangkut permasalahan dalam kesulitan belajar akibat kondisi
sosial ekonomi yang berdampak secara psikologis menyebabkan kegagalan siswa
karena tidak mampu dalam mengatasi permasalahan/ kesulitan yang dihadapi.
Dengan adanya kondisi ini, maka perlu adanya langkah langkah konkret dari pihak
sekolah yaitu dalam bentuk peningkatan pelayanan pendidikan yang mampu memberi
kesempatan berkembang secara optimal bagi setiap siswa.
Dalam rangka peningkatan kemampuan
kompetensi siswa serta terarahnya perubahan perilaku positip inilah, maka perlu
adanya upaya optimal dalam sistem belajar mengajar. Salah satunya adalah berupa
program belajar melalui program pengembangan bakat siswa melalui pendampingan
guru diklat pada proses belajar mengajar dikelas maupun pembelajaran diluar
kelas.
Dengan demikian, sekolah mendapat
tugas baru tanpa mengurangi arti program perluasan kurikulum yang formal.
Program belajar melalui program pengembangan bakat siswa melalui pendampingan
guru diklat pada proses belajar mengajar selanjutnya diharapkan menjadi salah
satu upaya nyata dalam membantu mengatasi pemasalahan/ kesulitan belajar siswa
dan mampu mendorong perkembangan siswa mencapai harapan yang dinginkan.
B. Peran
Guru dalam Proses Belajar Mengajar
Dalam proses belajar-mengajar, guru
menempati posisi penting dan penentu berhasil-tidaknya pencapaian tujuan suatu
proses pembelajaran. Sekalipun proses pembelajaran telah menggunakan berbagai
model pendekatan dan metode yang lebih memberi peluang siswa aktif, kedudukan
dan peran guru tetap penting dan menentukan. Dalam sebuah ungkapan berbahasa
Arab dinyatakan, Ath-thoriqatu ahammu minal maadah, wal mudarrisu ahammu min
kulli syai (Metode atau cara pembelajaran lebih penting daripada materi
pembelajaran dan guru lebih penting dari segalanya). Ungkapan ini mengandung
makna bahwa seorang guru harus menguasai materi pembelajaran yang akan
disampaikan. Lebih baik dari itu, penguasaan metode pembelajaran oleh seorang
guru memiliki arti lebih penting lagi dan menentukan keberhasilan suatu proses
pembelajaran daripada hanya penguasaan materi.
Di atas itu semua, posisi dan peran guru jauh lebih penting dan menentukan atas segalanya dalam proses belajar-mengajar, guru menempati posisi penting dan penentu berhasil-tidaknya pencapaian tujuan suatu proses pembelajaran. Sekalipun proses pembelajaran telah menggunakan berbagai model pendekatan dan metode yang lebih memberi peluang siswa aktif, kedudukan dan peran guru tetap penting dan menentukan. atas segalanya. Materi, metode, media, dan sumber pembelajaran, semuanya menjadi tidak bermakna apabila guru tidak mampu memerankan tugasnya dengan baik. Guru merupakan ujung tombak sekaligus dirigen yang berperan memimpin “pertunjukan orkestra pembelajaran”.
Di atas itu semua, posisi dan peran guru jauh lebih penting dan menentukan atas segalanya dalam proses belajar-mengajar, guru menempati posisi penting dan penentu berhasil-tidaknya pencapaian tujuan suatu proses pembelajaran. Sekalipun proses pembelajaran telah menggunakan berbagai model pendekatan dan metode yang lebih memberi peluang siswa aktif, kedudukan dan peran guru tetap penting dan menentukan. atas segalanya. Materi, metode, media, dan sumber pembelajaran, semuanya menjadi tidak bermakna apabila guru tidak mampu memerankan tugasnya dengan baik. Guru merupakan ujung tombak sekaligus dirigen yang berperan memimpin “pertunjukan orkestra pembelajaran”.
Oleh karena itu pula, pembinaan dan
mempersiapkan calon guru yang profesional melalui berbagai pelatihan dan studi
lanjutan sangat penting dan strategis. Dalam konteks ini, seorang mahaguru
pernah bertutur, jadilah guru atau tidak sama sekali. Jadilah guru dengan
berbekal kompetensi dan profesi sebagai guru, bila tidak, lebih baik tidak sama
sekali. Peran dan profesi guru bukanlah permainan. Setiap orang bisa menjadi
atau menempati posisi sebagai pendidik. Orang tua, disadari ataupun tidak,
adalah pendidik bagi anak-anaknya. Para mubalig, tokoh masyarakat atau anutan
umat adalah pendidik bagi masyarakatnya. Para pemimpin bangsa seharusnya juga
menjadi pendidik bagi bangsa yang dipimpinnya. Bahkan, para selebriti pun
menempati posisi sebagai pendidik, karena mereka menjadi anutan bagi yang
mengidolakannya. Namun, tidak setiap pendidik adalah guru. Setiap guru adalah
pendidik, tetapi tidak setiap pendidik adalah guru. Apa perbedaannya? Guru
adalah pendidik profesional. Guru, sebagai pendidik di sekolah, telah dipersiapkan
secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Ia juga telah dibina untuk
memiliki kepribadian sebagai pendidik. Lebih dari itu, ia juga telah diangkat
dan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi guru, bukan sekadar oleh
surat keputusan dari pejabat yang berwenang.
C.
Kompetensi Profesionalisme Guru
Kompetensi penting jabatan guru
tersebut adalah Kompotensi profesional, kompetensi pada bidang substansi atau
bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem
penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, kompetensi pada
bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Kompetensi personal,
kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki
pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan
”funky.” Guru terpanggil untuk bersedia belajar bagaimana mengajar dengan baik
dan menyenangkan peserta didik dan terpanggil untuk menemukan cara belajar yang
tepat. Katakan saja, menjadi guru bukan hanya suatu profesi yang ditentukan
melalui uji kompentensi dan sertifikasi saja, tetapi menyangkut dengan hati,
artinya sejak semula mereka sudah bercita-cita menjadi guru, guru yang mengenal
dirinya, dan sebagai panggilan tugas kemanusian yang muliah yang diikuti dengan
penghargaan yang profesional pula. Kata Kunci : Guru berkompetsni. Sertifikasi,
dan profesional
Beberapa kemampuan profesional yang harus dimiliki
seorang guru, pada garis besarnya;
1)
Kemampuan penguasaan materi/ bahan pelajaran;
2)
Kemampuan perencanaan program proses belajar-mengajar;
3)
Kemampuan pengelolaan program belajar-mengajar;
4)
Kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar;
5)
Kemampuan penggunaan media dan sumber pembelajaran;
6)
Kemampuan pelaksanaan evaluasi dan penilaian prestasi
siswa;
7)
Kemampuan program bimbingan dan penyuluhan;
8)
Kemampuan dalam pelaksanaan diagnosis kesulitan
belajar siswa; dan
9)
Kemampuan pelaksanaan administrasi kurikulum atau
administrasi guru.
10) Seorang guru
juga harus memiliki kemampuan sosial dan personal.
11) Kemampuan
sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar.
Sementara kemampuan personal
mencakup:
1)
Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan
tugasnya sebagai guru dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan;
2)
Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai
yang seyogianya dimiliki guru; dan
3)
Penampilan untuk menjadikan dirinya sebagai anutan dan
teladan para siswanya.
Di samping itu, guru harus mampu
memerankan fungsi sosial kultur guru, yaitu sebagai komunikator. Menyediakan
sumber informasi, menjaring informasi, mengolah informasi, dan menyampaikannya
kepada siswa sehingga mereka memahami isi dan maksud informasi tersebut. Kedua,
guru sebagai inovator, yaitu melakukan seleksi informasi bukan saja didasarkan
nilai informasi generasi yang lampau, juga pada kemungkinan relevansi dan
nilainya bagi generasi yang sedang tumbuh. Dalam hal ini, seorang pendidik
harus memasukkan aspek masa depan tatkala menyeleksi informasi tersebut.
Ketiga, guru sebagai emansipator, yaitu membantu membawa individu atau kelompok
ke tingkat perkembangan kepribadian lebih tinggi, dalam hal sikap ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan mereka dapat berdiri sendiri dan
membantu sesamanya.
2.4 Kode
etik profesi guru
A.
Pengertian Kode Etik Profesi
Kode Etik merupakan landasan moral
dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan
diamankan oleh setiap profesional. Memperbincangkan profesi tanpa
mengkaitkannya dengan persoalan etika bisa diibaratkan sebagai memperbincangkan
pergaulan lelaki-perempuan tanpa mengkaitkannya dengan nilai moral sebuah
perkawinan; atau memperbincangkan hubungan orang-tua (ayah/ibu) dengan
anak-anak kandungnya tanpa mengindahkan nilai etika kesantunan, norma adat
istiadat serta ajaran agama yang telah mengaturnya. Segala macam bentuk
pelanggaran serta penyimpangan terhadap tata-pergaulan tersebut dianggap
sebagai tindakan yang tidak bermoral (amoral), tidak etis dan lebih kasar lagi
bisa dikatakan sebagai tindakan yang tidak beradab alias biadab.
Istilah etik dan moral merupakan istilah-istilah yang bersifat mampu dipertukarkan satu dengan yang lain. Keduanya memiliki konotasi yang sama yaitu sebuah pengertian tentang salah dan benar , atau buruk dan baik.
Istilah etik dan moral merupakan istilah-istilah yang bersifat mampu dipertukarkan satu dengan yang lain. Keduanya memiliki konotasi yang sama yaitu sebuah pengertian tentang salah dan benar , atau buruk dan baik.
Dasar untuk menggambarkan perilaku
yang menjunjung tinggi nilai etika dan moral bisa dinyatakan dalam pernyataan
“do unto others as you would have them do unto you” (Bennett, 1996). Pernyataan
ini harus dipahami sebagai nilai-nilai tradisional yang meskipun terkesan
sangat konservatif karena mengandung unsur nilai kejujuran (honesty),
integritas dan konsern dengan hak serta kebutuhan orang lain; tetapi sangat
tepat untuk dijadikan sebagai “juklak-juknis” didalam menilai dan
mempertimbangkan persoalan etika profesi yang terkait dalam proses pengambilan
keputusan profesional.
B. Sikap
terhadap anak didik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan
memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar
Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi
pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup
yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sebuah
istilah yang menjadi slogan guru sebagai cerminan bagi anak didik ” guru kencing
berdiri murid kencing berlari, memberikan pesan moral kepada guru agar
bertindak dengan penuh pertimbangan. Ketika guru menanamkan nilai dan contoh
karakter dan sifat yang tidak baik, maka jangan salahkan murid ketika
berprilaku lebih dari apa yang guru lakukan. Seperti kelakuan bejat guru ketika
membocorkan jawaban Ujian Nasional sebagai upaya menolong kelulusan anak
didiknya. Memang murid pada saat itu senang, karena mendapatkan jawaban untuk
mempermudah mereka lulus. Akan tetapi, saat itu juga guru telah menanamkan
ketidakpercayaan murid terhadap guru. Dan pada saatnya nanti, mereka akan jauh
berbuat lebih bejat lagi ketimbang saat ini yang guru mereka lakukan.
Dalam mendidik, guru harus dengan
ikhlas dalam bersikap dan berbuat serta mau memahami anak didiknya dengan
segala konsekuensinya. Semua kendala yang terjadi dan dapat menjadi penghambat
proses pendidikan baik yang berpangkal dari perilaku anak didik maupun yang
bersumber dari luar diri anak didik harus dapat dihilangkan bukan dibiarkan. Keberhasilan
dalam pendidikan lebih banyak sitentukan oleh guru dalam mengelola kelas. Dalam
mengajar, guru harus pandai menggunakan pedekatan secara arif dsan bijaksana
bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Kalau dalam pengajaran yang
diwarnai proses kekerasan sistemnya adalah satu arah, yaitu murid hanya
menerima apa yang dikatakan oleh guru, maka dalam proses yang
membebaskan/pengajaran yang membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar
dari murid dan murid juga belajar dari guru. Guru dan murid adalah teman
seperjalanan mencari yang benar, bernilai dan sahih (dapat dipertanggung
jawabkan) dan yang saling memberikan kesempatan untuk berperan satu terhadap
yang lain. Guru tidak perlu takut kalau murid lebih mengerti daripada dirinya
dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan, karena justru dengan demikian
mereka telah membebaskan murid dari perasaan takut dan memberikan kepada murid
kebebasan untuk berkembang.
C. Sikap
terhadap Pekerjaan
ciri-ciri guru profesional sebagai berikut:
1.
Mempunyai komitmen pada proses belajar siswa,
2.
Menguasai secara mendalam materi pelajaran dan cara
mengajarkannya,
3.
Mampu berfikir sistematis tentang apa yang
dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
4.
Merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam
lingkungan profesinya yang memungkinkan mereka untuk selalu meningkatkan
profesionalismenya.
Namun realitas menunjukkan bahwa
kualitas guru belum sebagaimana yang diharapkan. Berbagai usaha yang serius dan
sungguh-sungguh serta terencana harus secara terus menerus dilakukan dalam
pengembangan kualitas guru.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hal yang penting adalah membangun
”kesadaran” dan ”budaya” bahwa guru adalah ”ujung tombak”, memiliki peran yang
besar, merupakan faktor penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu
pendidikan, yang didukung dengan kesejahteraan guru yang layak dan memadai,
sehingga mau tidak mau, senang tidak senang, guru harus meningkat diri dengan
profesi yang ditekuninya. Dengan demikian, kata kuncinya semua kebijakan yang
dilakukan untuk meningkat kualitas, kompetensi dan sertifikasi guru adalah ”by
proses” dan bukan ”instan.
Sebagai sebuah profesi, guru memang
sudah selayaknya bersertifikat pendidik. Dengan diperolehnya sertifikat
pendidik, maka seorang guru berhak memperoleh tunjangan profesi yang besarnya
setara dengan satu kali gaji pokok. Diharapkan dengan meningkatkan
kesejahteraan guru ini akan diimbangi dengan peningkatan kinerja guru. Sebab
para guru akan lebih terfokus pada tugas keprofesionalannya di satuan
pendidikan/sekolahnya masing-masing dan tidak lagi menjadi “guru luar biasa”.
Meskipun pakar pendidikan dari
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof DR Suwarma Al Muchtar SH
MH menyatakan, bahwa pemberian sertifikasi bagi guru tak menjamin peningkatan
mutu pendidikan nasional karena sertifikasi guru cederung pendekatan
formalistis dan tidak menyentuh substansi masalah pendidikan di Indonesia
(Republika Online, Jum`at, 16 Maret 2007, 16:27:00), tetapi paling tidak upaya
pemerintah ini mampu menjadi semacam “penawar dahaga di kala haus” atau
“setitik cahaya di tengah kegelapan”. Artinya, merupakan sebuah angin segar
perubahan guna mengangkat citra, harkat dan martabat guru.
DAFTAR PUSTAKA
2006. Undang Undang No.14 tahun 2005 pendidikan nasional Indonesia , Jakarta: Depdiknas RI
, 2003. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 manajemen pendidikan , Jakarta: Depdiknas RI
http://makalahfrofesikependidikan.blogspot.com/2010/07/makalah-profesi-guru.html
2002. Masalah manajemen pendidikan di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan Ditjen Dikdasmen - Dik menum.
Wanto, 2005. manajemen dan pendidikan, Surabaya; Tabloid Nyata IV Desember